Rabu, 19 Mei 2010

SEJARAH IPNU

Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) adalah organisasi kader yang lahir atas tuntutan sejarah. Ia merupakan bagian integral dari potensi generasi muda Indonesia yang menitikberatkan bidang garapannya pada pembinan dan pengembangan pelajar dan santri. Dua segmen tersebut merupakan pilar utama keberadaan IPNU yang harus terus dikembangkan secara dinamis, sesuai dengan tuntutan perkembangan dan kebutuhan masyarakat.
IPNU lahir atas tuntutan kebutuhan untuk menghimpun pelajar NU. Kebutuhan akan wadah bagi pelajar NU tersebut sebenarnya sudah sejak lama dirasakan mendesak. Hal ini sangat disadari oleh para pelajar pada saat itu, sehingga secara lokalistik banyak berdiri perkumpulan pelajar yang berafiliasi kepada Nahdlatul Ulama. Di antara organisasi pelajar itu adalah Tsamaratul Mustafidin yang terbentuk pada tanggal 11 Oktober 1936 di Surabaya, Persatuan Anak-anak Nahdlatul Oelama (PERSANO), Persatuan Anak Moerid Nahdlatul Oelama (PAMNO) tahun 1941; Ikatan Moerid Nahdlatul Oelama (IMNO) pada tahun 1945, Ijtimauttholabah Nahdlatul Oelama (ITNO) pada tahun 1946, Subbanul Muslimin yang berdiri di Madura, serta masih banyak lagi.
Karena keterbatasan yang masih sangat lokalistik tersebut, maka akan sangat sulit dicaqpai penggalangan pelajar NU secara nasional. Sebab dengan adanya perkumpulan-perkumpulan itu masih banyak terjadi kesenjangan antara mereka yang berasal dari pesantren, madrasah, dan sekolah umum, sehingga banyak mengalami kesulitan. Di samping bersifat kedaerahan, gerakan yang dilakukan oleh organisasi-organisasi tersebut tidak koordinatif. Akibatnya tujuan gerakan yang dilakukan tidak tercapai secara optimal.
Gerakan-gerakan organisasi pelajar ini baru terlihat menggeliat pada tahun 50-an dengan berdirinya beberapa organisasi pelajar lain, seperti Ikatan Siswa Muballighin Nahdlatul Oelama (IKSIMNO) pada tahun 1952 di Semarang, Persatuan Pelajar Nahdlatul Oelama (PERPENO) di Kediri, Ikatan Pelajar Islam Nahdlatul Oelama (IPINO), Ikatan Pelajar Nahdlatul Oelama (IPNO) di Surakarta dan lain sebagainya.
Ikhtiar untuk terbentuknya organisasi pelajar NU pada level nasional terus dilaksanakan. Baru pada acara Konferensi Besar Ma’arif Nahdlatul Ulama seluruh Indonesia di Semarang, IPNU resmi diproklamasikan sebagai organisasi yang mewadahi pelajar Nahdlatul Ulama. Proklamasi berdirinya Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) itu tepatnya dilaksanakan pada tanggal 24 Februari 1954, bertepatan dengan 20 Jumadil Akhir 1373. Pendirian organisasi itu dipelopori oleh para pelajar yang datang dari Yogyakarta, Semarang, dan Surakarta seperti; M. Sofyan, Cholil Mustahal, Achmad Masjhub, dan A. Gani Farida M. Uda. Dalam konferensi tersebut disamping menyepakati berdirinya organisasi, juga ditetapkan Ketua Umum Pimpinan Pusat. Terpilih sebagai Ketua Umum adalah Muchamad Tholchah Mansur.
Setahun setelah berdirinya IPNU, tepatnya pada tanggal 2 Maret 1955, berdiri Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU). Sebagai wadah berhimpun pelajar putri NU, sebab IPNU hanya beranggotakan pelajar putra. Proklamasi IPPNU itu dilaksanakan pada muktamar pertama IPNU di Surakarta.

Minggu, 16 Mei 2010

Wajah Pendidikan di Indonesia

Oleh: Andy

“ ilmu pendidikan di Indonesia mengalami krisis identitas karena lonceng kematiannya telah berdentang”Mochtar Buchari
“ ilmu pendidikan di Indonesia dalam kondisi hidup enggan mati tak mau “
H.A.R. Tilaar
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Pendidikan di Indonesia bila kita gambarkan maka terlintas dalam benak kita gambar yang kusut. Kondisi semacam itu, disebabkan, antara lain, oleh politisasi praksis pendidikan di Indonesia selama Orde Baru, merupakan warisan “leluhur sejarah”, semntara lembaga pendidikan tinggi yang seharusnya bertugas mengkaji secara ilmiah konsep-konsep pendidikan telah beralih pada deskripsi yang trival tentang praktik-praktik pendidikan. Wajarlah kemudian ada suara yang mengatakan bahwa pendidikan kita dalam keadaan mati suri.
Hal ini, kita harus akui bila melihat realitas yang terjadi dalam pendidikan di Indonesia. Kita masih teringat “fatwa” Mahkamah Agung mengenai UNAS, “bahwa UNAS tetap dilaksanakan jika sistemya ikut diperbaiki (dalam hal ini sistem pendidkan yang dimaksud adalah kualitas guru, kurikulum, dan pemenuhan sarana dan prasarana). Tetapi apa yang terjadi keputusan Mendiknas tetap pada pendiriannya yakni tetap melaksanakan UNAS. Sangat Ironis memang, bila kita mendengar pengakuan Mendiknas sendiri bahwa dalam pendidikan kita belum sepenuhnya terpenuhi sarana dan prasarana. Tapi mengapa ujian Negara tetap dilakasanakan. Sebenarnya ada apa dibalik ujian Negara?.
Tulisan ini, hendak mengkaji masalah pantaskah UNAS dipertahankan melalui dua sudut pandang, yakni dari sudut pandang pendidikan dan poltik.
1. Sebuah tes yang dapat dikatakan baik sebagai alat pengukur harus memenuhi persyaratan tes, yaitu memiliki: pertama, validitas. Artinya sebuah tes dikatakan valid apabila tes tersebut mengukur apa yang hendak diukur. Dalam bahasa Indonesia “valid” disebut dengan istilah “shahih”. Sebenarnya yang menjadi penekanan dalam pembicaraan validitas ini bukan ditekankan pada tes itu sendiri tetapi pada hasil pengetesan atau skornya. Kita bisa melihat betapa skor yang didapat oleh anak didik sangatlah minim (tidak lulus) kalau kita nilai secara objektif. Tetapi kita melihat tiap tahunnya yang terjadi adalah bukanlah peserta didik yang ujian, tetapi yang melaksanakan ujian adalah para pendidik.
Kedua, Reliabilitas, artinya dapat dipercaya. Tes tersebut dikatakan dapat dipercaya jika memberikan hasil yang tetap apabila diteskan berkali-kali. Sehingga dengan kata lain realibitas adalah ketetapan sedangkan validitas adalah ketepatan. Muncul sebuah pertanyaan mengenai UNAS, apakah UNAS mempunyai ketetapan terhadapa siswa, artinya apakah tes yang sama pada waktu yang berlainan, akan menghasilkan nilai yang sama (rangking yang sama), tetapi malah sebaliknya yang terjadi.
Ketiga, Objektivitas, berarti tidak adanya unsur pribadi yang mempengaruhi. Apakah kita dapat menjamin bahwa seluruh pelaksanaan UNAS tersebut objektif. Tetapi yang terjadi adalah nihil.
Keempat, Praktikabilitas, sebuah tes dikatakan praktikabilitas yang tinggi apabila tes tersebut bersifat praktis, mudah pengadministrasiannya. Tes dapat dikatakan praktis apabila mudah dilaksanakan, mudah pemeriksaannya dan dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk yang komprehensif. Yang menjadi perhatian penulis apakah UNAS ini mudah dilaksanakan, realitas membuktikan tiap tahun dalam tiga hari polisi, aktivis LSM, dan mahasisiwa masuk kesekolah untuk mengawasi pelaksanaan ini. Bukan hal ini membutuhkan biaya uang banyak.
Kelima, Ekonomis, bahwa pelaksanaan tes tersebut tidak membutuhkan biaya yang mahal, tenaga yang banyak, dan waktu yang lama. Akan tetapi UNAS ini melainkan hanya sebuah proyek tahunan buat para pemerintah yang sangat menjanjikan.

2. Ketika disahkannya UU No. 20 2003 Tentang Sisdiknas oleh DPR dan disetujui oleh kepala Negara, memunculkan dua pendapat, pertama, apakah dengan disahkan UU tersebut dapat mengembalikan pendidikan kita pada jalan yang sebenarnya “yang lama” mati dalam kesendiriannya. kedua, apakah UU ini lebih menitikberatka pada kepentingan penguasa pada waktu itu, yakni memenuhi “kantong-kantong” kehidupan pemerintah.
Dalam Bab IX tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 35 (1) disebutkan “Standar Nasional Pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala”. Yang menjadi pertanyaan kemudian UU diatas menginginkan standar ini ditingkatkan secara berencana dan berkala apakah sudah dilaksanakan?
Jawaban yang tetap, jangankan semuanya diterapkan, malah tidak sama sekali diterapkan. Hal ini dapat kita lihat penjelasan UU di atas: Standar isi mencakup ruang materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan ke dalam persyaratan tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepekati. Pertanyaan kemudian lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sudah diterapkan. Hal inilah yang membuat wajah pendidikan kita yang sangat brutal yang hanya menilai 3 jam dalam jangka waktu 3 hari (lebih), jika dibandingkan perjuangan pesrta didik selama 3 tahun. Hasil studi International Educational Achievement (IEA) menunjukkan, kemapuan membaca siswa SD di Indonesia berada diurutan ke-38 dari 39 negara yang masih diteliti. Sementara penelitian the Third International Mathematics and Science Study Repeat tahun 1999 menunjukkan, kemampuan peserta didik untuk tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) Indonesia di bidang Ilmu Pengetahuan Alam di urutan ke-32 dan untuk Matematika di posisi ke-34 dari 38 negara yang diteliti di seluruh dunia. Mengacu pada nilai UNAS sebagai cerminan kualitas pendidikan, terlihat nilai rata-rata nasional lulusan peserta didik tingkat SMP, yaitu 5,46 selam lima tahun terakhir. Hasil tersebut sangat tentu memprihatinkan, karena angka itu dapat dikategorikan sebagai nilai “merah”.
Rendahnya kualitas hasil pendidikan itu sangatlah berdampak pada rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia. Menurut Human Development Reports, HDR 2002 (Laporan Pembangunan Manusia 2002) yang dikeluarkan oleh Program pembangunan PBB (United Develoment Programme, UNDP) tentang Human Development Indicators 2002, Indonesia menempati peringkat 110 dari 173 negara yang diteliti dengan Human Development Index (HDI) 0.684. Posisi Indonesia itu jauh di bawah Negara anggota ASEAN, misalnya Singapura (25), Thailand (70), Malaysia (59), Brunei Darussalam (32), Vietnam (109). Kemudian pada Human Development Reports 20003, Indeks tersebut menunjukkan kemerosotan menjadi 0.682. Penurunan indeks yang mencerminkan memburuknya kualitas manusia Indonesia ini juga terlihat dari menurunnya peringkat HDI dari urutan 110 ke 112, semntara Malaysia naik ke peringkat 58 dan Vietnam masi diurutan ke 109. Apakah hal ini luput dari kacamata pemerintah, sehingga ia ingin menyamaratakan standar pendidikan secara nasional.
Standar tenaga kepedidikan mencakup persyartan pendidikan prajabatan dan kelayakan, baik fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan. Mendiknas pernah mengakui bahwa kualitas guru di Indonesia masih jauh dari kesempurnaan,. Hal ini sangatlah tumpah tindih mendiknas mengakui bahwa kualitas guru sangatlah minim akan tetapi kenapa masih standarisasi dalam pendidikan.
Standar sarana dan prasarana pendidikan mencakup ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi, dan berekreasi, dan sumber belajar lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajran, termasuk penddunaan teknologi informasi dan komunikasi.
Peningkatan secara berencana dan berkala dimaksudkan untuk meningkatkan keunggulan lokal, kepentingan nasional, keadilan, dan kompetensi antarbangsa dalam peradaban dunia. Akan tetapi yang terjadi malah pembodohan disana sini. Maka dengan sendirinya terjadi pro kontra penyelenggaraan UN, apakah mnyalahi konstitusi atau tidak sama sekali.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan atas latar belakang tersebut, maka penulis hanya membatasi pada persoalan :
1. Apa landasan hukum orang yang mendukung UN ?
2. Apa landasan hukum orang yang menolak UN ?
3. Apakah solusi yang tepat untuk menenggarai pro dan kontra atas penyelenggaraan UN ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini adalah :
1. Diharapkan pembaca mengetahui landasan hukum orang yang mendukung UN.
2. Diharapkan pembaca mengetahui landasan hukum orang yang menolak UN.
3. Diharapkan pembaca menegetahui solusi yang tepat untuk UN.




Pembahasan

A. Landasan hukum orang yang mendukung UN
Ujian Nasional merupakan salah satu kegiatan dari pelaksanaan kurikulum yang dilaksanakan pada tiap – tiap akhir tahun pelajaran yang diikuti oleh seluruh siswa yang duduk di kelas XII (dua belas) dalam rangka menyelesaikan salah satu jenjang pendidikan untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Adapun yang melatar belakangi penyusunan program kegiatan ini, antara lain :
1. Bahwa Ujian Nasional merupakan kegiatan yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dalam usaha menyukseskan program pendidikan nasional, baik secara kuantitas maupun kualitas.
2. Bahwa hasil Ujian Nasional dapat digunakan untuk pembinaan pendidikan , terutama fasilitas dan proses belajar mengajar ( PBM ) di kelas.
3. Bahwa nilai yang dicapai dalam Ujian Nasional dapat digunakan untuk menentukan peringkat seleksi penerimaan siswa baru ke jenjang yang lebih tinggi.
4. Bahwa Ujian Nasional merupakan komponen penentu para siswa untuk penentuan nilai IJAZAH ( Surat Tanda Kelulusan ).
Dasar dan Landasan Hukum Ujian Nasional Penyusunan program kerja kegiatan Ujian Nasional ini didasari atas :
1. Keputusan Badan Standar Nasional Pendidikan Nomor 1512/BSNP/XII/2008 tentang Prosedur Operasi Standar (POS) Ujian Nasional SMA Tahun Pelajaran 2008/2009.
2. Undang-Undang Nomor 20Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
3. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 77 tanggan 5 Desember 2008 Tentang Ujian Nasional Untuk SMA Tahun Pelajaran 2008/2009.
Maksud dan Tujuan Ujian Nasional
Sebagaimana tujuan Ujian Nasional Yang tercantum dalam buku petunjuk pelaksanaan Ujian Nasional departemen Pendidikan Nasional, maka maksud dan tujuannya, adalah :
1. Merintis tercapainya standar nasional bagi mutu pendidikan dasar dan menengah.
2. menyederhanakan prosedur penerimaan siswa baru pada sekolah yang lebih tinggi.
3. mempercepat peningkatan pemerataan mutu pendidikan Dasar dan Menengah.
4. tercapainya tujuan kurikuler.
5. mendorong agar proses belajar mengajar dilaksanakan berdasarkan kurikulum, buku dan alat peraga praktek yang telah ditentukan.
Berdasarkan tujuan tersebut di atas, maka penyusunan program kegiatan Ujian Nasional dimaksudkan agar dapat memberikan acuan dan arahan dalam melaskanakan kegiatan Ujian Nasional di sekolah dengan tujuan agar dapat berjalan dengan tertib serta sesuai dengan ketentuan yang berlaku, serta hasil yang dicapai tahun ini akan lebih baik dari tahun sebelumnya.
Di samping tujuan tersebut di atas, Ujian Nasional bertujuan pula:
1. Mengetahui sejauh mana hasil yang telah dicapai selama satu tahun pelajaran.
2. untuk menentukan standarisasi mutu pendidikan dalam melaksanakan proses belajar mengajar di masa yang akan datang.
3. dengan adanya standarisasi mutu pendidikan yang telah diketahui, melalui Ujian Nasional dapat dijadikan tolak ukur untuk meningkatkan mutu sekolah khususnya dam mutu pendidikan pada umumnya.
4. untuk menilai kegiatan belajar mengajar ( PBM ) mana yang perlu mendapat perhatian sehingga mutu pendidikan secara nasional dapat tercapai dengan baik dan sempurna.
Adapun sasaran ujian nasional berdasarkan tujuan Ujian Nasional tersebut di atas, maka sasaran yang hendak dicapai, antara lain :
Bidang Penyusunan Program Kerja :
1. Agar semua kegiatan Ujian Nasional dapat dilaksanakn dengan baik dan lancar.
2. Agar setiap guru / personal yang ada di sekolah dapat mengetahui dan melaksanakan tugas sesuai dengan fungsinya masing-masing.
3. Agar setiap guru / personal tidak saling mengandalkan dalam melaksanakan tugasnya.
Bidang Pelaksanaan
1. Ikut membantu tercapainya tujuan pembangunan nasional khususnya dalam bidang pendidikan.
2. Tercapainya tujuan Ujian Nasional sebagaimana tercantum dalam buku pedoman pelaksanaan Ujian Nasional .
3. Agar tercapai hasil optimal, baik dari segi pelaksanaan maupun hasil yang dicapai oleh para siswa.
4. Mendapatkan standardisasi mutu
5. Meningkatkan mutu sekolah, sekaligus pendidikan pada umumnya.
6. Mendapatkan bahan masukan demi kesempurnaan dan meningkatnya mutu pendidikan yang akan datang.


B. Landasan hukum orang yang menolak UN
Ujian nasional bukanlah hal yang baru. Sejak 1945-1971 kita sudah melakukan Ujian Negara. Ujian sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah baik penyiapan bahan, pelaksanaan, maupun penetapan kelulusan. Dampaknya, kelulusan rendah, banyak kritik masyarakat, tidak ada seleksi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, mutu lulusan tinggi. Sistem ini lantas diperbaiki dengan Ujian Sekolah 1971-1983; Ujian sepenuhnya dilakukan oleh sekolah baik penyiapan bahan, pelaksanaan, maupun penetapan kelulusan. Tidak ada batas lulus; dampaknya kelulusan hampir 100 persen, masih diperlukan seleksi lagi ke jenjang lebih tinggi, mutu rendah, banyak kritik masyarakat. Sistem ini akhirnya diperbaiki dengan Ebtanas (1983-2002).
Dalam sistem ini dikenal kombinasi PQR, di mana nilai akhir atau kelulusan adalah P (nilai semester satu) + Q ( nilai semester dua) + 3R (nilai ebtanas murni). Hasilnya banyak terjadi mark up nilai P dan Q oleh guru atas restu kepala sekolah dan kepala dinas pendidikan. Semua peserta lulus, anak rajin atau anak malas, anak pandai atau anak bodoh semuanya lulus.
Pada saat itu, benar-benar tidak ada penjaminan mutu, bahkan kewibawaan pendidikan di titik nadir demikian pula kewibawaan guru. Quality control dan quality assurance tidak ada. Efek negatif Ebtanas adalah tidak memotivasi siswa belajar lebih giat dan prestatif; tidak memotivasi guru untuk mengajar dan mendidik dengan lebih bersungguh-sungguh, tidak menumbuhkan budaya mutu dan tradisi berkompetisi untuk mencapai keunggulan bangsa, memberikan pendidikan yang semu.
Penolakan UN bukan semata-mata soal landasan yuridis yang salah satu pasalnya menyebut kewenangan meluluskan siswa ada pada guru. Alasan empiris yang kasat mata sejatinya adalah masih lemahnya kesiapan sekolah dan kesiapan guru untuk bekerja lebih bermutu. Artinya standar performance guru memang masih jauh dari mutu yang syaratkan untuk bisa meluluskan murid dengan standar kelulusan sesuai standar UN. Lihat saja kinerja mereka para guru yang sudah lulus sertifikasi juga masih jauh panggang dari api.
Rendahnya kinerja guru tidak lepas dari penyiapan guru saat masih di LPTK ada guru-guru yang direkrut dari LPTK beneran dan ada juga guru yang direkrut dari LPTK abal-abal yang proses perkualiahannya tanpa ada kontrol mutu. Rekrutmen guru kita juga kental nuansa politik ketimbang nuansa akademik. Lihat demo para guru bantu, guru honorer untuk menjadi CPNS adalah indikasi rekrutmen guru bukan berbasis pertimbangan akademis melainkan lebih dilandasi kebijakan politik.
Celakanya, mereka ini lebih asyik menuntut hak-haknya sebagai PNS ketimbang sadar diri atas kewajibannya sebagai guru profesional untuk terus bergulat meningkatkan kemampuan profesionalnya. Kecurangan dalam sertifikasi, manipulasi dalam pengumpulan angka kredit untuk kenaikan pangkat adalah jalan pintas yang dilakukan guru untuk mendapat hak kesejehteraannya. Akankah mereka bisa dituntut untuk mengajar lebih bermutu? Di tangan guru-guru yang rendah komitmen moralnya, rendah tanggung jawab profesionalnya maka UN menjadi momok yang harus ditolak.
Di samping rendah kinerja profesional guru, sisi lain yang menjadi penyebab rendahnya mutu pendidikan di sekolah adalah manajemen sekolah. Umumnya, manajemen sekolah masih belum melakukan model penjaminan mutu yang kokoh dan terukur; dalam kondisi guru yang tidak siap dan kinerjanya masih rendah ditambah dengan manajemen sekolah yang belum nenerapkan sistem penjaminan mutu berkelanjutan maka penolakan UN adalah jalan pintas yang bisa dirasionalisasikan dengan dalih apa pun apalagi sekarang ada putusan MA yang bisa melegitimasi penolakan itu. Menyerahkan kembali standar kelulusan kepada guru jelas bukan hal yang bijak jika kita melihat sejarah manipulasi nilai P dan Q oleh para guru di era Ebtanas.
Padahal dari sisi yuridis penyelenggaraan UN sebagai salah satu upaya peningkatan mutu pendidikan sudah cukup kuat. UU Sistem Pendidikan Nasional; Pasal 11: Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan bermutu bagi masyarakat tanpa diskriminasi; Pasal 35: Ada 8 Standar Nasional Pendidikan, dua di antaranya: Standar Kompetensi Lulusan; dan Standar Penilaian Pendidikan. Pasal 58 Ayat (1): Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan (Internal Evaluation); Pasal 58 Ayat (2): Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik, untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan (External Evaluation).
PP tentang Standar Nasional Pendidikan; Pasal 63; Ayat (1): Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: a. Penilaian oleh pendidik; b. Penilaian oleh satuan pendidikan; dan c. Penilaian oleh Pemerintah. Pasal 66 Ayat (1): Penilaian hasil belajar oleh Pemerintah bertujuan untuk menilai pencapaian standar kompetensi lulusaan secara nasional dilakukan dalam bentuk ujian nasional. Dari perspektif di atas UN masih layak dilanjutkan dengan berbagai perbaikan teknis, di sisi lain dibarengi dengan peningkatan mutu kinerja guru dan manajemen sekolah yang berbasis peningkatan mutu berkelanjutan.
Perbaikan mutu kinerja guru dan manajemen sekolah merukan dua ujung tombak peningkatan mutu pendidikan yang mendesak harus dilakukan. Berbagai kekurangan fasilitas dan sarana prasarana sejatinya bisa diatasi dengan manajemen sekolah yang baik ditambah dukungan dana investasi dan dana pengembangan pendidikan dari pemerintah pusat.


Penjaminan Mutu Pendidikan
Upaya pemerintah untuk terus meningkatkan mutu pendidikan semakin serius dan tidak bisa ditawar lagi dengan diterbitkannya Permendiknas No 63 Tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan. Permendiknas No 63 Tahun 2009 memberikan arahan yang jelas tentang penjaminan mutu pendidikan. Ada dua hal utama yang harus dilakukan untuk penjaminan mutu pendidikan yakni pertama, melakukan Evaluasi Diri Sekolah (EDS), kedua; melakukan Monitoring Sekolah Oleh Pemerintah Daerah (MSPD).
Evaluasi Diri Sekolah (EDS) untuk melakukan pemetaan mutu sekolah oleh pihak sekolah sendiri secara jujur dan transparan sehingga dapat ditemukan akar permasalahan yang dihadapi dalam penjaminan mutu pendidikan, selanjutnya bisa dirumuskan rekomendasi atau langkah nyata dalam penjaminan mutu pendidikan. Evaluasi Diri Sekolah merupakan langkah proaktif untuk mengeliminasi ketidakjujuran sekolah dalam menempuh evaluasi yang dilakukan oleh Badan Akreditasi Sekolah. Bukan rahasia lagi bahwa banyak sekolah melakukan manipulasi data dan fakta saat menghadapi tim asesor badan akreditasi sekolah. Melalui EDS hal tersebut tidak perlu dilakukan lagi.
Adapun Monitoring Sekolah oleh Pemerintah Daerah (MSPD) merupakan perwujudan dari pertanggungjawaban pemerintah daerah yang memiliki kewenangan dalam bidang pendidikan sesuai dengan UU Otonomi Daerah sehingga pemerintah daerah dituntut mampu melakukan monitoring yang terkait dengan penjaminan mutu sekolah. Patut dicatat saat ini masih banyak pemkab/pemkot yang tidak memiliki sistem baku tentang penjaminan mutu pendidikan yang menjadi kewenangannya.
Untuk bisa melakukan penjaminan mutu pendidikan yang berkelanjutan pemerintah telah menugaskan kepada Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) di 30 provinsi untuk mendampingi dan memfasilitasi sekolah dan pemerintah kebupaten/kota dalam melaksanakan penjaminan mutu di sekolah. LPMP dibekali dengan berbagai kemampuan teknis operasional dann kerangka konseptual dalam penjaminan mutu pendidikan.
Dimulai dari pemetaan kualitas pembelajaran di sekolah, kualitas kepemimpinan kepala sekolah dan pengawas sekolah sampai pada penningkatan kemampuan guru dalam menyusun karya ilmiah, penelitian tindakan kelas, penelitian tindakan sekolah. Semuanya sudah disiapkan di LPMP yang menjadi persoalan adalah apakah para bupati/wali kota, DPRD kepala dinas pendidikan kabupaten/kota memiliki good will dan political will untuk meningkatkan mutu pendidikan di daerahnya. (76)

Berbicara pelaksanaan UN di Indonesia masih terdapat kontroversi dikalangan ahli, sehingga terjadi tarik menarik antar yang pro dan kontra. Desakan terhadap pemerintah untuk mmbatalkan penyelenggaraan UN, banyak aksi yang dilakukan oleh organisasi kepelajaran, mengingat pemerintah mematuhi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diperkuat dengan Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Mahkamah Agung RI tentang ujian nasional (UN) kembali bergulir.
Di atas merupakan hukum yang telah ditetapkan atas gugatan para guru-guru. Perlu kiranya dipaparkan landasan hukum penolakan UN berdasarkan pada beberapa aspek, yaitu pertama, UN Boroskan Anggaran Negara, kedua Pada dasarnya UN memang diperlukan oleh sebuah negara karena merupakan tolok ukur bagi keluaran proses pendidikan nasional. Namun demikian, diperlukan prasyarat dasar sebelum UN dilaksanakan, yakni pemenuhan terhadap standar proses pendidikan, seperti sarana prasarana pendidikan yang memadai, distribusi dan kualitas guru, kurikulum, dan lainnya. Ketiga, Standar proses pendidikan itu terkait dengan pemenuhan hak-hak dasar warga untuk mendapatkan pelayanan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau. Selama ini penerapan UN dipukul rata tanpa mempertimbangkan kondisi dari infrastruktur dasar pendidikan.

C. solusi yang tepat untuk menenggarai pro dan kontra atas penyelenggaraan UN
Negaramanapun tentunya sangat membutuhkan informasi yang berkenaan dengan sejauh mana sistem yang telah didesain selama ini mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Dari informasi yang diperoleh tersebut kemudian dapat dijadikan sebagai acuan untuk memperbaiki kinerja sistem itu sendiri dimasa yang akan datang. Dalam dunia pendidikan, kerangka sederhana inilah yang kira-kira menjadi landasan bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia dalam menyelenggarakan evaluasi sistemik dalam pendidikannya. Sebut saja evaluasi sistemik tersebut saat ini yang lagi trend dan hangat diperdebatkan dinegara kita adalah penyelenggaraan Ujian Nasional. Ujian Nasional yang sejak awal kemunculannya mendapatkan berbagai reaksi yang beragam dari berbagai lapisan masyarakat Indonesia, “ada” kelompok yang pro dan tidak sedikit pula kelompok yang “kontra” terhadap kebijkan tersebut. Ujian Nasional ditentang oleh sebagian besar masyarakat disebabkan karena pertama digunakannya standar tunggal untuk dalam mengevaluasi siswa seluruh Indonesia. Masyarakat menilai, azas keadilan dan pemerataan yang menjadi semangat penyelenggaraan sistem pendidikan nasional kita tidak tercermin dalam penyelenggaraan UN, ketika acuan penilaian yang digunakan tidak memperhatikan dinamika dan perbedaan kemampuan ditingkat daerah. Keadaan ini juga “kontraproduktif” dengan semangat kurikulum yang mencoba membangun dan menyemaikan budaya kontruktifistik dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, peningkatan ambang batas kelulusan UN setiap tahun belum diimbangi dengan perbaikan infrastruktur pendidikan dan kualitas pembelajaran. Terjadi lompatan logika yang tidak dapat diterima oleh masyarakat, bagaimana ingin menyamakan evaluasi sementara terdapat disparitas yang menganga berkenaan dengan proses pembelajaran antara jawa dan luar jawa. Diakui atau tidak, jawa lebih unggul dalam hal kecepatan mengekses informasi dibandingkan daerah luar jawa, sebab berbagai fasilitas yang menunjang kearah tersebut telah memadai sedangkan daerah luar jawa masih “jauh panggang dari api”. Kondisi ini setidaknya akan mempengaruhi kelancaran proses pembelajaran pada tiap sekolah. Bahkan, semangat “program internet” masuk sekolah baru dicanangkan beberapa waktu yang lalu sebagai bagian dari program seratus hari Departemen Pendidikan Nasional. Sebagai perbandingan dengan program negeri jiran, Kementerian Malaysia telah cukup lama mengembangkan apa yang disebut sebagai sekolah pintar (smart school) sebagai bagian dari proyek raksana yang dikenal dengan Multimedia Super Corridor (MSC). Sejak tahun anggaran 1997, Malaysia telah mengembangkan 31 sekolah menengah sebagai sekolah pintar. Empat mata pelajaran pokok di Malaysia, yaitu (1) Bahasa Malaysia, (2) Bahasa Inggris, (3) Sains, dan (4) Matematik (kita menggunakan istilah Matematika) telah disusun dalam bentuk CD, sehingga proses pembelajarannya menggunakan komputer. Lagi-lagi, fasiltias ruang kelas di sekolah ini tidak lagi ada meja kursi yang diatur berderet-deret seperti kelas model lama, tetapi kelas model baru lengkap dengan komputer untuk setiap siswa. Kalau demikian, program penyediaan internet secara massal dalam hal ini memang terasa sudah terlambat dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Malaysia. Oleh karena demikian, sepatutnya pemerintah mempertimbangkan faktor ini dalam penyelenggaraan UN.
Katiga, penyusunan butir-butir soal Ujian Nasional dilakukan secara sentralistik. Kondisi ini sangat bertentangan dengan semangat “desentralisasi” dibidang pendidikan yang selama ini telah disemaikan. Implikasinya kemudian, banyak anak yang tidak mampu menjawab soal-soal Ujian Nasional. Hal ini dimungkinkan terjadi karena meski kurikulum sama, namun masing-masing guru sebagai kreator pembelajaran dalam menginterpretasikan kurikulum menjadi lebih operasional tentunya memiliki pemahaman yang berbeda sehingga materi pembelajaranpun bervariasi, “inilah” semangat Desentralisasi Pendidikan”. Disisi lain, fenomena yang tidak kalah risihnya dan memilukan nurani bangsa ini ketika “semangat lulus 100 %” menjadi semacam keharusan telah mengubah wajah pendidikan secara massif. Berbagai cara dihalalkan untuk mencapai target tersebut, tim sukses dibentuk pada tiap sekolah meski tidak formal yang bertugas untuk membagikan ransum (kunci jawaban) pada menit-menitterakhir.
Sementara itu, tidak dapat dipungkiri pula bahwa, disisi lain keberadaan Ujian Nasional juga menjadi semacam shock terapi bagi masyarakat bangsa ini yang terkenal malas dalam membaca. Para orang tua murid yang peduli terhadap peningkatan mutu dan kualitas anak-anaknya tentunya akan mendorong anak-anaknya untuk belajar sejak dini karena mengetahui betapa sulitnya Ujian Nasional yang akan dihadapi oleh sang anak. Inilah yang menjadi argumen, dari kelompok masyarakat yang “pro” terhadap penyelenggaraan UN. Disamping itu, dengan logika untuk mengangkat kualitas anak bangsa secara bersamaan juga menjadi faktor yang mendorong UN untuk terus dipertahankan sebagai indikator kelulusan siswa. Terlepas dari pro kontra di atas, berangkat dari azas keadilan dan pemerataan pendidikan “penulis” menyarankan untuk mereposisi Ujian Nasional. Artinya, Ujian Nasional tetap boleh diselenggarakan sebagai salah satu instrumen evaluasi secara nasional, namun peruntukannya tidak dijadikan sebagai indikator mutlak kelulusan, melainkan dijadikan sebagai salah satu indikator kelulusan dengan mengembalikan kepada daerah untuk menentukan standar kriteria kelulusannya. Dengan Ujian Nasional model baru ini, penyusunan soal tidak lagi dilakukan secara nasional tetapi dilakukan oleh masing-masing daerah. Untuk kepentingan memantau mutu pendidikan secara nasional, pemerintah pusat tetap memegang peran sebagai pemantau dan pengawas terhadap penyelengaraan UN. Dari hasil Ujian Nasioanal tersebut, kemudian pemerintah pusat dapat mengambil langkah-langkah perbaikan dan peningkatan aspek-aspek penting yang akan mendukung agenda peningkatan mutu pendidikan nasional secara keseluruhan.
Dengan model ini, Ujian Nasional juga dijadikan sebagai sarana untuk meningkatkan mutu sekolah secara bertahap. Karena itu, sekolah yang belum memenuhi standar pendidikan harus dibantu untuk meningkat. Model baru ini juga dapat mengikis kesan dan citra negatif yang melekat pada guru selama ini, dimana guru dicitrakan sebagai pihak yang tidak dapat dipercaya karena suka memanipulasi nilai siswanya, membocorkan soal dan semata-mata ingin meluluskan siswanya tanpa memperhatikan mutu luaran. Pada bagian lain, dengan model baru ini, gran desain untuk meningkatkan mutu pendidikan secara sistemik dilakukan secara batton up dengan berpegang pada prinsip desentralisasi yang saling menguntungkan. Jika memang butir-butir penting dalam amar putusan Mahkamah Agung seperti perbaikan sistem pendidikan, peningkatan dan pemerataan kualitas dan kuantitas sarana pendidikan serta peningkatan akses layanan informasi kepada masayarakat pendidikan, telah dilakukan perbaikan secara terencana dan berkesinambungan, maka Ujian Nasional dapat dijadikan sebagai indikator kelulusan dengan standar kriteria kelulusan mutlak seperti saat ini dapat diterapkan kembali. Saya kira, pilihan inilah yang paling logis untuk saat ini, sebab diakui atau tidak kita masih berbenah. Kita tentunya tidak ingin terbang jauh sebelum landasan pacu kita siapkan secara memadai. Mudah-mudahan tawaran di atas akan menjadi inspirasi bagi pengambil kebijakan dalam mere-evaluasi Ujian Nasional serta menjadi landasan konseptual bagi pelaku pendidikan di daerah dalam memberikan masukan dan kritikan terhadap pemerintah pusat berkenaan dengan penyelenggaraan Ujian Nasional.

Andy. Lahir di Makassar 22 Juli 1989, sekolah formal tamat pada tahun 2007 di SMA Neg. 4 Makassar dan pendidikan non-formalnya sekarang nyantri di Pesantren An-Nahdlah 2001- Sekarang. Melanjutkan pendidikan di fakultas Tarbiyah 2007- Sekarang.
2 Pada dasarnya Validitas dibagi atas dua macam yaitu vadilitas logis dan validitas empiris. Baca selengkapnya Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, (Cet. 9, Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hal. 65.
3 Ibid.
4 Lihat UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
5 Ibid.
7Taufikurrahman saleh, Membangun Pendidikan Indonesia; Reformasi Pendidikan Menuju Masyarakat Berbasis Ilmu Pengetahuan (Cet. I: Jakarta: LPP PP IPNU 2009). hal. 64-65.
8 Ibid.
9 Ibid.
10Ibid.
11Dapat diakses melalui jejaring situs http://ujiannasional.org/panduan-umum-ujian-nasional.htm. Di unduh pada tanggal 13 Maret 2010.

Sabtu, 15 Mei 2010

Perihal Teori Tentang Guru Profesional

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Transformasi global dalam bidang ekonomi, politik, budaya dan pendidikan akan berjalan cepat karena didorong oleh perdagangan bebas dan perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi, menuju masyarakat maju. Masyarakat Indonesia telah memutuskan untuk ikut serta dalam pembangunan perdagangan dunia yang bebas dan saling menguntungkan, dalam rangka mewujudkan masyarakat maju pada tahun 2020. Dengan meningkatkan mutu pendidikan sains, sosial serta teknologi di tingkat pendidikan dasar sampai perguruan tinggi sehingga mutu pelajaran akan sejajar dengan negara maju lainnya. Serta peningkatan mutu dan jumlah tenaga sains, sosial dan teknologi berbanding.
Di dalam era globalisasi yang meminta kualitas di berbagai segi kehidupan manusia menuntut kualitas profesionalisme yang tinggi. Masyarakat yang semakin berkualitas pendidikannya bukan hanya menuntut barang dan jasa yang berkualitas tinggi, tetapi juga organisasi yang dikelola secara profesional.
Jabatan guru merupakan jabatan profesional yang berarti bahwa pekerjaan guru diakui sejajar dengan pekerjaan profesional lainnya, misalnya pekerjaan bidang kedokteran dan hukum. Pekerjaan profesional ini bersifat kompleks, yang menuntut penguasaan kemampuan yang kompleks pula. Kemampuan keguruan sebagai kemampuan profesional mempersyaratkan penguasaan yang sangat kompleks yang harus dibentuk dalam pendidikan prajabatan guru mutlak diperlukan untuk memungkinkan terkuasainya kemampuan profesional keguruan yang kompleks oleh para calon guru.
Dalam standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat (3) butir c dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi professional adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing oeserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam standar Nasional Pendidikan.
Conny Semiawan dalam Sutomo mengisyaratkan bahwa untuk menjadi tenaga yang profesional guru harus meningkatkan kemampuannya yaitu ia harus dapat mengantisipasi berbagai perubahan dan perkembangan, mampu merancang dan melaksanakan kegiatan belajar mengajar yang mengacu pada proses belajar mengajar yang lebih baik. Selanjutnya Ia mengemukakan bahwa profesionalisme yang berkenaan dengan suatu keahlian, ketrampilan dan sikap untuk bertindak yang terbaik bagi lingkungannya. Seorang yang profesional senantiasa berpandangan melakukan sesuatu yang benar dan baik.
Dari paparan di atas, profesionalisme seorang guru merupakan hal yang harus dimiliki setiap guru, karena Guru adalah aset nasional intelektual bangsa dalam pelaksanaan pendidikan yang mempersiapkan pengembangan potensi peserta didik dalam rangka melahirkan sumber daya manusia yang mampu, cerdas, terampil dan menguasai IPTEK serta berakhlak mulia guna menunjang peran serta dalam pembangunan.
Disisi lain untuk mencapai suatu profesionalisme bukanlah hal yang mudah, tapi harus melalui suatu pendidikan dan latihan yang relevan dengan profesi yang ditekuni. Untuk mencapai pendidikan yang berkualitas tidaklah semudah membalik telapak tangan, banyak masalah yang dihadapi dalam proses belajar mengajar, diantaranya keterbatasan sumber belajar, keterbatasan penguasaan pengetahuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan dalam kemajuan pendidikan, cara menyampaikan materi pelajaran, cara membantu anak agar belajar lebih baik, cara membuat dan memakai alat peraga, peningkatan hasil belajar anak dan pelaksanaan berbagai perubahan kebijakan yang berhubungan dengan tugasnya.
Sehingga, profesionalitas sangat diperlukan di era global, jika tidak maka kita akan tergilas oleh arus dan pada akhirnya tersisih. Maka dari itu pemakalah bermaksud untuk membahas perihal teoritentang guru professional.
B. Rumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan atas latar belakang tersebut, maka penulis hanya membatasi pada persoalan :
1. Pengertian profesi, profesionalisme, guru professional
2. Perihal teori tentang guru professional
BAB II
PROFESIONALISME GURU

A. Pengertian Profesi, Profesional, Guru Profesional
Profesionalisme berakar pada kata profesi yang berarti pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian, profesionalisme itu sendiri dapat berarti mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau orang yang profesional. Profesionalisme guru dapat berarti guru yang profesional.
Menurut Sanusi, et.al dalam Sujipto (1994:17) bahwa ciri-ciri utama suatu profesi itu sebagai berikut :
a) Suatu jabatan yang memiliki fungsi dan signifikansi sosoial yang menentukan (crusial).
b) Jabatan yang menuntut keterampilan/keahlian tertentu
c) Keterampilan/keahlian yang dituntut jabatan itu didapat melalui pemecahan masalah dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.
d) Jabatan itu berdasarkan pada batang tubuh disiplin ilmu yang jelas, sistematik, eksplisit yang bukan hanya sekedar pendapat khalayak umum.
e) Jabatan itu memerlukan pendidikan tingkat perguruan tinggi dengan waktu yang cukup lama.
f) Proses pendidikan untuk jabatan itu juga aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai profesional itu sendiri.
g) Dalam memberikan layanan kepada masyarakat anggota profesi itu berpegang teguh pada kode etik yang timbul yang dikontrol oleh organisasi profesi.
h) Tiap anggota profesi mempunyai kebebasan dalam memberikan judgement terhadap permasalahan profesi yang dihadapinya.
i) Dalam prakteknya melayani masyarakat anggota profesi otonom dan bebas dari campur tangan orang lain.
j) Jabatan ini mempunyai prestise yang tinggi dalam masyarakat dan oleh karenanya memperoleh imbalan yang tinggi pula.

Dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen Pasal 1 ayat 4 dikatakan: “Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memrlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memrlukan pendidikan profesi”.
Ini berarti bahwa pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak dapat memperoleh pekerjaan yang lain.
Dengan bertitik tolak dari pengertian ini, maka guru profesional adalah orang yang memiliki keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga mampu melaksanakan tugas-tugasnya dengan maksimal atau dengan kata lain guru profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik serta memiliki pengalaman yang kaya dibidangnya.
B. Perihal Teori Tentang Guru Profesional
Landasan teori profesionalisme guru pada makalah ini mencakup teori profesi guru, kompetensi guru, fungsi guru.
1. Profesi Guru
Profesi adalah suatu pekerjaan yang memerlukan pendidikan lebih lanjut dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang dipergunakan sebagai perangkat dasar dan implementasikan dalam berbagai kegiatan yang bermanfaat.
Sedangkan menurut Dedi Supriyadi menyatakan bahwa profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian dari para petugasnya, maksudnya pekerjaan yang disebut profesi itu tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak terlatih dan tidak disiapkan secara khusus terlebih dahulu untuk melakukan pekerjaan itu. Secara sederhana pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang secara khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oeh mereka yang karena tidak ada pekerjaan lain. Dengan demikian untuk menjadi seorang guru yang profesional harus mempersiapkan diri secara khusus baik dalam pendidikan maupun penguasaan materi.
Berdasarkan atas hakekat dan jenis profesi yang telah dikemukakan, diketahui bahwa suatu profesi menuntut persyaratan yang mendasar ketrampilan teknis yang lebih rinci, serta kepribadian tertentu.
Ciri-ciri dan syarat profesi adalah sebagai berikut:
a) Lebih mementingkan pelayanan kemanusiaan yang ideal dibandingkan kepentingan pribadi.
b) Seseorang pekerja profesional, secara relatif memerlukan waktu yang panjang untuk mempelajari konsep-konsep pengetahuan khusus yang mendukung keahliannya.
c) Memiliki kualifikasi tertentu untuk memasuki profesi tersebut serta mampu mengikuti perkembangan dalam pertumbuhan jabatan.
d) Memiliki kode etik yang mengatur keanggotaan, tingkah laku, sikap dan cara kerja.
e) Membutuhkan suatu kegiatan intelektual yang tinggi.
f) Adanya organisasi yang dapat meningkatkan standar pelayanan, disiplin diri dalam profesi, serta kesejahteraan anggotanya.
g) Memberikan kesempatan untuk kemajuan, spesialisasi dan kemandirian.
h) Memandang profesi sebagai suatu karier hidup dan menjadi seorang anggota yang permanen.
Sebagai perbandingan dan memperjelas disajikan pula ciri-ciri keprofesian sebagai berikut:
a) Pengakuan oleh masyarakat terhadap pelayanan tertentu yang hanya dapat dilakukan oleh kelompok pekerja yang dikategorikan sebagai profesi.
b) Dimilikinya sekumpulan bidang ilmu yang menjadi landasan sejumlah teknik dan prosedur yang baik.
c) Diperlukannya kesiapan yang sengaja dan sistematis dan sebelum orang melaksanakan suatu pekerjaan yang profesional.
d) Dimilikinya organisasi profesional yang melindungi kepentingananggotanya dari saingan kelompok luar, juga berfungsi tidak saja menjaga,akan tetapi sekaligus selalu berusaha meningkatkan kualitas layanan,kepada masyarakat, termasuk tindakan-tindakan etis profesional kepada nggotanya.
Dari dua kelompok ciri profesi di atas maka kita dapat menyimpulkan bahwa suatu profesi memiliki ciri-ciri yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
a) Suatu profesi betujuan untuk melayani masyarakat
Mengajar adalah pekerjaan melayani masyarakat yaitu mendidik anak-anak untuk mencerdaskan kehidupan bangsa pada masa mendatang.
b) Suatu profesi berpangkal pada ilmu pengetahuan
Suatu profesi dalam memberikan pelayanan memerlukan pengetahuan baik ketrampilan maupun pengalaman-pengalaman praktis maupun prinsip-prinsip abstrak yang muncul dari penelitian ilmiah dan analisis yang logis.
c) Suatu profesi mempunyai otonomi profesional
Seorang tenaga profesional dalam melaksanakan tugasnya mempunyai otonomi atau kebebasan dalam menggunakan pengetahuan, ketrampilan, dan pertimbangannya sendiri untuk melayani siswanya dalam batas kode etiknya.
d) Suatu profesi mempunyai kode etik
Kode etik bertujuan untuk mendidik anggota profesi melaksanakan tugas dan kewajibannya serta dengan tanggung jawab kepada yang mempercayainya. Dengan kode etik, guru mempunyai pedoman dasar untuk membina profesi.
e) Suatu profesi mempunyai organisasi profesi
Organisasi profesi menentukan ukuran dan syarat untuk menjadi anggota organisasi profesi, meningkatkan standar praktek profesi dan menjalankan profesi yang baik dan bertanggung jawab. Organisasi itu misalnya PGRI.
Sehubungan dengan profesi guru, Peters dalam buku Nana Sudjana mengemukakan ada 3 tugas pokok profesi guru, yaitu:



a) Guru sebagai pengajar
Menekankan pada tugas dalam merencanakan dan melaksanakan pengajaran. Dalam tugas ini guru dituntut memiliki seperangkat pengetahuan dan ketrampilan tekhnis mengajar, di samping menguasai ilmu atau bahan yang akan diajarkan.
b) Guru sebagai pembimbing
Menekankan kepada tugas guru dalam memberikan bantuan kepada siswa dalam pemecahan masalah yang dihadapi terkait dengan belajar mengajar.
c) Guru sebagai administrator
Merupakan jalinan antara ketatalaksanaan bidang pengajaran dan ketatalaksanaan pada umumnya, ketatalaksanaan bidang pengajaran lebih menonjol dan lebih diutamakan bagi profesi guru.
Perbedaan pokok antara profesi guru dengan profesi yang lain terdapat pada tugas dan tanggung jawabnya. Tugas dan tanggung jawab tersebut erat kaitannya dengan kemampuan yang disyaratkan untuk memangku profesi tersebut. Kemampuan dasar tersebut adalah kompetensi guru.

2. Kompetensi Guru
Kemampuan guru sering disebut dengan kompetensi, yaitu seperangkat kemampuan yang harus dikuasai guru dalam proses belajar mengajar. Raka Joni seperti dikutip Trimo (1991:30-31) menyatakan bahwa kompetensi guru meliputi kompetensi profesional, personal, dan kemasyarakatan. Secara garis besar, konsep kompetensi yang harus dimiliki tenaga pendidik adalah sebagai berikut:
a) Kompetensi profesional ialah kompetensi menguasai bidang akademik yang terpadu dengan penguasaan metodologi pengajaran sedangkan dalam penjelasan Pasal 28 ayat (3) butir c dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi profesional adalah kemampuan pnguasaan matri pembelajran secara luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan, yang meliputi:
• Memiliki daya pengertian, pengetahuan, pemahaman dan penghayatan yang luas dan mendalam tentang anak didik baik melalui ilmu teoritis maupun pengalaman;
• Mantap ilmu pengetahuannya;
• Mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
• Mampu mendidik yang berarti harus menguasai materi, metode
• kondisi anak, tujuan pendidikan, mampu memotivasi anak, menilai
• hasil belajar dan membimbingnya;
• Mempunyai bakat mendidik, sabar, penuh inisiatif dan kreatif.
b) Kompetensi Personal/Kepribadian ialah sikap pribadi yang dijiwai oleh filsafat hidupnya yang menggunakan budaya bangsa sedangkan dalam penjelasan Pasal 28 ayat (3) butir b dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan beribawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. , meliputi:
• Mempunyai latar dan reputasi yang baik;
• Berpandangan luas, berhati jujur, tulus, sportif dan simpatik;
• Bebas dan bersih dari sifat-sifat sombong dan egoistis;
• Berjiwa matang dan dinamis;
• Panjang akal, sabar, tabah, dan mau bekerja dalam arti mau membaktikan dirinya demi tugas;
• Bersih dari sifat-sifat dan kebiasaan pilih kasih dan membedakan siswa;
• Mempunyai kewibawaan di mata siswa.
c) Kompetensi Sosial ialah kemampuan guru dalam bergaul dan menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat setempat sedangkan dalam penjelasan Pasal 28 ayat (3) butir d dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik. sesame pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. adapaun yang termasuk dalam kompeetnsi sosial adalah:
• Berpikiran, berperasaan dan berbuat pantas di masyarakat;
• Bertanggungjawab terhadap anak didik;
• Mampu berkomunikasi dengan masyarakat secara lebih luas demi kepentingan pendidikan.
Mengacu pada tiga kompetensi di atas, maka Depdikbud seperti dikutip Suryasubrata secara garis besar mengelompokan 10 (sepuluh) kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh seorang guru, yaitu:
a) Menguasai bahan, meliputi:
- menguasai bahan bidang studi dalam kurikulum,
- menguasai bahan pemerkayaan/penunjang bidang studi;
b) Mengelola program belajar mengajar, meliputi:
- merumuskan tujuan pembelajaran,
- mengenal dan menggunakan prosedur pembelajaran yang tepat,
- melaksanakan program belajar mengajar,
- mengenal kemampuan anak didik;
c) Mengelola kelas, meliputi:
- mengatur tata ruang kelas untuk pelajaran,
- menciptakan iklim belajar mengajar yang serasi;
d) Penggunaan media atau sumber, meliputi
- mengenal, memilih dan menggunakan media,
- membuat alat bantu yang sederhana,
- menggunakan perpustakaan dalam proses belajar mengajar,
- menggunakan micro teaching untuk unit program pengenalan lapangan;
e) Menguasai landasan-landasan pendidikan;
f) Mengelola interaksi-interaksi belajar mengajar;
g) Menilai prestasi untuk kepentingan pelajaran;
h) Mengenal fungsi layanan bimbingan dan konseling di sekolah, meliputi:
- mengenal fungsi dan layanan program bimbingan dan konseling,
- menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling;
i) Mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah;
j) Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran.
3. Fungsi Guru
Adapun fungsi guru dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Mengajar
Dalam fungsi mengajar ini terkandung makna fungsi guru sebagai pendidik. Apabila guru mengajar berarti pula ia mendidik siswa-siswanya. Dengan mengajar guru bukan saja menyampaikan ilmu pengetahuan tetapi juga membnagun kepribadian siswa. Sebagai pengajar, seorang guru dituntut kemampuan mengorganisasikan proses seperti membuat satpel, memilih dan menggunakan metode dan alat pengajaran serta menilai hasil belajar siswa.
b. Membimbing
Suatu ilmu pengetahuan yang telah berkembang dalam pendidikan guru adalah yang mengenal bimbingan dan penyuluhan, kepada siswa-siswanya. Dengan bimbingan dan penyuluhan itu siswa akan dibantu mengatasi kesulitan-kesulitan belajar mereka. Siswa pasti akan menghadapi kesukaran ketika belajar karena banyak faktor yang mempengaruhi siswa. Tanpa memberikan bantuan untuk mengatasi kesukaran yang dihadapi siswa, maka tujuan yang telah direncanakan tidak akan tercapai, oleh karenanya memberikan bimbingan dan penyuluhan kepada siswa sebagai fungsi guru
c. Mengerjakan tugas-tugas administrasi
Semua guru pada suatu sekolah turut bertanggung jawab mengenai pelaksanaan sebagian besar tugas administrasi sekolah. Kelas sendiri merupakan salah satu unit administrasi sekolah dan guru bertanggungjawab atas administrasi kelas. Kelas sebagai unit organisasi tidak terlepas dari unit sekolah yang lebih besar dipimpin oleh kepala sekolah. Sebagai anggota kelompok akademik guru berkewajiban pula melakukan kegiatan akademik seperti menjadi panitia penyusunan kurikulum, mengurus administrasi siswa seperti pengisian daftar hadir, rapor, dan lain-lain.
d. Melakukan tugas-tugas dalam hubungan masyarakat
Sekolah tidak terpisah dari masyarakat, karena siswa maupun guru adalah anggota masyarakat. Guru biasanya mempunyai kesempatan untuk menggunakan fasilitas atau sumber masyarakat bagi kepentingan sekolah. Kalau hal ini dilakukan maka secara langsung fungsi mengajar dibantu pelaksanaanya.
e. Melakukan kegiatan-kegiatan profesional
Fungsi guru yang lain adalah turut membina dan mengembangkanorganisasi profesinya, yaitu organisasi yang mengabdi pada usaha memajukan pendidikan yang baik dan meningkatkan mutu kesejahteraan sosial guru, misalnya dengan menulis artikel mengenai pendidikan, kegiatan-kegiatan yang menyangkut kesejahteraan guru, mengikuti kursus-kursus, seminar dan lain-lain.
Kelima fungsi guru di atas tidaklah terpisah satu dengan yang lain, bahkan beberapa fungsi itu di dalam pelaksanaannya dapat berlangsung bersamaan. Di samping penggolongan di atas adapula yang mengelompokan fungsi dan peran guru seperti di bawah ini:
1. Guru sebagai pengelola proses pembelajaran
2. Guru sebagai moderator
3. Guru sebagai motivator
4. Guru sebagai fasilitator
5. Guru sebagai evaluator
Jadi yang dimaksud fungsi guru di atas dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Guru sebagai pengelola proses pembelajaran
Guru sebagai moderator kelas merupakan suatu organisasi yang semestinya dikelola dengan baik, mengacu pada fungsi-fungsi tersebut administrasi yang ada dan sudah lama berlaku adalah perencanan, pembagian tugas, penentuan staf, pengarahan, pengkoordinasian, dan penilaian guru harus bertindak sesuai pada tujuan organisasi kelas.
b. Guru sebagai moderator
Guru diharapkan tidak hanya menyampaikan materi tetapi lebih sebagai mederator, yaitu mengatur lalu lintas pembicaraan, jika ada alur pembicaraan yang tidak dapat diselesaikan oleh siswa maka gurulah yang wajib mendamaikan perselisihan siswa tersebut. Selain itu guru mempunyai kewajiban juga mengarahkan siswa untuk menyimpulkan hasil pembahasan materi pelajaran.
c. Guru sebagai motivator
Guru harus dapat memberi motivasi yang memancing kamauan siswa untuk aktif dalam proses belajar mengajar yakni guru haruslah memberikan stimulus yang baik terhadap peserta didik agar proses pembelajaran sejalan dengan tujuan pembelajaran.
d. Guru sebagai fasilitator
Tugas guru tidak hanya menyampaikan informasi kepada peserta didik, tetapi harus menjadi fasilitator yang bertugas memberikan kemudahan belajar (facilitate of learning). Selain itu, Guru harus memberikan kemudahan dan sarana kepada siswa agar dapat aktif belajar menurut kemampuannya.


e. Guru sebagai evaluator
Setiap kegiatan selalu diikuti oleh evaluasi jika orang-orang yang terlibat dalam kegiatan tersebut menginginkan terjadinya peningkatan atas kegiatannya pada masa yang akan datang. Guru merupakan orang yang paling tahu dan bertanggungjawab tentang terjadinya proses pembelajaran serta otomatis dituntut mengadakan evaluasi terhadap hasil dan proses pembelajaran yang berlangsung.
Demikian dari kedua pendapat tersebut di atas, uraian tentang fungsi seorang guru pada dasarnya adalah sama yaitu seorang guru mempunyai fungsi utama adalah mengajar, memberikan ilmu kepada anak didiknya melalui proses belajar mengajar, membangun kepribadian siswa, mengelola kelas sebagai suatu organisasi kemudian membimbing siswa untuk menjadi siswa yang cerdas dan menjadi makhluk yang berbudi luhur sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Profesionalisme berakar pada kata profesi yang berarti pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian, profesionalisme itu sendiri dapat berarti mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau orang yang profesional. Profesionalisme guru dapat berarti guru yang profesional.
2. Profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak dapat memperoleh pekerjaan yang lain.
3. Landasan teori profesionalisme guru pada makalah ini adalah:
• Profesi Guru
• Profesi adalah suatu pekerjaan yang memerlukan pendidikan lebih lanjut dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang dipergunakan sebagai perangkat dasar dan implementasikan dalam berbagai kegiatan yang bermanfaat.
• Kompetensi Guru
• Kemampuan guru sering disebut dengan kompetensi, yaitu seperangkat kemampuan yang harus dikuasai guru dalam proses belajar mengajar. Raka Joni seperti dikutip Trimo (1991:30-31) menyatakan bahwa kompetensi guru meliputi kompetensi profesional, personal, dan kemasyarakatan.
• Fungsi Guru, Adapun fungsi guru dapat dijelaskan sebagai berikut:
• Mengajar ;
• Membimbing;
• Mengerjakan tugas-tugas administrasi;
• Melakukan tugas-tugas dalam hubungan masyarakat, dan
• Melakukan kegiatan-kegiatan professional.

DAFTAR PUSTAKA

Ampryani,Wahyu. Identifikasi Masalah Profesionalisme Guru Pada Mahasiswa Pendidikan Geografi Angkatan tahun 2000 Universitas Negeri Semarang. Skripsi tidak diterbitkan. Semarang: UNS 2005.

Arikunto, Suharsimi. Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi. Jakarta: Rineka Cipta. 1993.
http://meetabied.wordpress.com/2009/10/30/peningkatan-profesionalism-guru-dalam-mengajar/. Di unduh pada tanggal 8 Pebruari 2010.
Mulyasa. E. DR. M.Pd. Standar Komptnsi dan Sertifikasi Guru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2007.
Sutomo. Profesi Kependidikan. Semarang: IKIP Press. 1998.
Munadi. Pengaruh Profesionalisme Guru Terhadap Prestasi Belajar Siswa Kelas I, II, dan III Cawu 2 SMU Negeri Jakenan Kabupaten Pati Tahun Pelajaran 1999/200. Semarang: IKIP Negeri Semarang.1999.
Suryasubrata. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta. 1997.
Tilaar, A.R. Pengembangan Sumber Daya Manusia Dalam Era Globalisasi(Visi, Misi dan Program Aksi Pendidikan dan Pelatihan Menuju 2020). Jakarta: Grassindo. 1995.

Hakikat Metode Pendidikan Islam

A. Pengertian Metode Pendidikan Islam
Pendidikan Islam dalam pelaksanaannya membutuhkan metode yang tepat untuk menghantarkan kegiatan pendidikannya ke arah tujan yang dicita-citakan. Bagaimanapun, baik dan sempurnanya suatu kurikulum pendidikan Islam, ia tidak akan berarti apa-apa, manakala tidak memiliki metode atau cara yang tepat dalam mentransformasikan nilai-nilai kepada peserta didik. Hal ini mengindikasikan bahawa metode atau cara merupakan sesuatu yang mesti dimiliki oleh setiap pendidik. Bahkan menurut Samsul Nizar dalam bukunya Filsafat Pndidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, bahwa ketidaktepatan dalam penerapan metode secara praktis akan menghambat proses belajar mengajara yang akan berakibat membuang waktu dan tenaga secara percuma. Karenanya metode merupakan pintu untuk menuju pembelajaran yang efektif dan menyenangkan.
Secara literal metode berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari dua kosa kata, yaitu meta yang berarti melalui dan hodos yang berarti jalan. Sedangkan pengertian menurut istilah metode adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal.
Berdasarkan pengertian di atas, bila dikaitkan dengan proses kependidikan Islam, maka metode berati suatu proses yang dipergunakan pendidikan dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan untuk mencapai tujuan yang telah diterapkan (dari segi pendidik). Sementara itu al-Syaibany, menjelaskan bahwa:
Metode pendidikan adalah segala segi kegiatan yang terarah yag dikerjakan oleh guru dalam rangka kemestian-kemestian mata pelajaran yang diajarkannya, cirri-ciri perkembangan peserta didiknya, dan suasana alam sekitarnya dan tujuan membimbing peserta didik untuk mencapai proses belajar yang diinginkan dan perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku mereka.

Sedangkan menurut Samsul Nizar sehubungan penggunaan metode dalam pendidikan Islam:
Pada prinsipnya adalah pelaksanaan sikap hati-hati dalam pekerjaan mendidik dan mengajar. Hal ini mengingat bahwa sasaran pendidikan Islam itu adalah manusia yang telah memiliki kemampuan dasar untuk dikembangkan. Sikap kurang hati-hati akan dapat berakibat fatal sehingga mungkin saja kemampuan dasar yang telah dimiliki peserta didik itu tidak akan berkembang secara wajar, atau pada tingkat yang paling fatal dapat menyalahi hukum-hukum dan arah perkembangannya sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah SWT, Tuhan Pencipta Sekalian Alam.

Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa metode pendidikan Islam adalah cara pendidik yang telah direncanakan secara sistematis untuk mengimplemantasikan tujuan yang telah disusunnya sedemikian rupa, guna merubah peserta didiknya menjadi manusia yang dewasa dan berkepribadian muslim.

B. Asas-asas Umum Metode Pendidikan Islam
Asas merupakan landasan awal yang dipergunakan untuk merumuskan sesuatu. Berkenaan dengan metode pendidikan Islam, maka asas atau landasan merupakan hal yang sangat penting, karena ia menjadi roh dalam penentuan metode itu sendiri. Asas-asas tersebut pada prinsipnya tidak banyak berbeda dengan asas-asas tujuan dan kurikulm pendidikan Islam, karena ia merupakan komponen-komponn yang tak terpisahkan sehingga membentuk satu kesatuan yang membentuk suatu sistem.
Secara umum, asas-asas metode pendidikan Islam menutur al-Syaibany, adalah:
1. Asas agama, yaitu prinsip-prinsip, asas-asas dan fakta-fakta umum yang diambil dari sumber ajaran Islam yakni Al-Qur’an dan Sunnah Rasul serta Ijtihad.
2. Asas biologis, yaitu dasar yang digunakan utuk mempertimbangkan kebutuhan jasamani dan tingkat perkembangan usia peserta didik, karena manusia merupakan makhluk biologis.
3. Asas psikologis, yaitu prinsip yang lahir dari kondisi psikis peserta didik, seperti bakat, motivasi, sikap, minat dan secara umum keadaan jiwa peserta didik dalam penerimaan pembelajaran.
4. Asas sosial, yaitu asas yang bersumber dari kehidupan manusia seperti tradisi, kebutuhan-kebutuhan, harapan-harapan dan tuntuntan kehidupan yang senantiasa mengalami perkembanagan seperti kemajuan ilmu dan teknologi.
Masih berkenaan dengan asas-asas metode pendidikan Islam, jika di lihat dari sudut pelaksanaannya dapat diformulasikan sebagai beerikut:
1. Asas motivasi, yaitu usaha pendidik untuk membangkitakan perhatian peserta didik ke arah bahan pelajaran yang sedang disajikan.
2. Asas aktivitas, yaitu memberikan kesempatan kepada peserta didik ambil bagian dari proses pembelajaran.
3. Asas apersepsi, yaitu mengupayakan respon-respon tertentu dari peserta didik sehingga mereka memperoleh perubahan pada tingkah laku, perbendaharaan konsep, dan kekayaan akan informasi,
4. Asas peragaan, yaitu memberikan variasi dalam cara mengajar dengan mewujudkan bahan yang diajarkan secara nyata, baik dalam bentuk aslinya maupun tiruan.
5. Asas ulangan, yaitu usaha untuk mengetahui taraf kemajuan atau keberhasilan belajar peserta didik dalam aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap (tingkah laku).
6. Asas korelasi, yaitu menghubungkan suatu bahan pelajaran dengan bahan pelajaran dengan bahan pelajaran lainnya, serta menghubungkan anatar konsep dengan realitas yang terjadi sehingga membentuk mata rantai yang erat.
7. Asas konsentrasi, yaitu memfokuskan pada suatu pokok masalah tertentu dari keseluruhan bahan pelajaran untuk melaksanakan tujuan pendidikan serta memperhatikan peserta didik dalam segala aspeknya.
8. Asas individualisasi, yaitu memprhatikan perbedaan-perbedaan peserta didik.
9. Asas sosialisasi, yaitu menciptakan situasi sosial yang membangkitkan semangat kerja sama antara peserta didik dengan pendidik atau sesame peserta didik dan masyarakat, dalam menerima pelajaran agar lebih berdaya guna.
10. Asas evaluasi, yaitu memperhatikan hasil dari penilaian terhadap kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik, sebagai umpan balik pendidik dalam memperbaiki cara mengajar dan mendidiknya.
11. Asas kebebasan, yaitu memberikan keleluasaan keinginan dan tindakan peserta didik yang mengacu pada hal-hal yang positif.
12. Asas lingkungan, yaitu menentukan metode dengan berpijak pada pengaruh lingkungan akibat interaksi dengan lingkungan.
13. Asas globalisasi, yaitu memperhatikan reaksi peserta didik terhadap lingkungan secara keseluruhan, tidak hanya secara intelektual, tetapi secara fisik, sosial dan sebagainya.
14. Asas pusat-pusat minat, yaitu memprhatikan kecenderungan jiwa yang tetap ke jurusan suatu yang berharaga bagi seseorang.
15. Asas ketaualadanan, yaitu memberikan contoh terbaik untuk ditiru dan ditauladani peserta didik.
16. Asas pembiasaan, yaitu membiasakan hal-hal positif dalam diri peserta didik sebagai upaya pembinaan mereka.
Sehingga dari paparan di atas, setidaknya metode pendidikan Islam senantiasa dikembangkan dengan mengacu pada asas-asas di atas. Melalui aplikasi nilai-nilai Islam dalam proses transformasi keilmuan, maka diharapkan proses tersebut dapat diterima, dipahami, dihayati, ditiru, dihayati, dan diyakini sebagai sebuah kebenaran, sehingga pada gilirannya terjadi proses transformasi ilmu sampai kepada transformasi perilaku yakni peserta didik bertindak bukan karena takut, akan tetapi peserta didik bertindak karena merupakan kesadaran individunya.
Dalam konteks itu, M. Arifin mengemukakan beberapa metode yang paling penting:
1. Mendidik dengan menggunakan akal
2. Mendorong dengan pengamalan ilmu
3. Mendorong berjihad
4. Metode pemberian suasana (situasional)
5. Metode mendidik secara kelompok (metode mutual education)
6. Metode intruksioanal
7. Metode mendidik dengan bercerita kisah Qur’ani dan Nabawi
8. Metode bimbingan dan Penyuluahan
9. Metode pemberian contoh dan tauladan
10. Merode diskusi
11. Metode soal-jawab
12. Metode pemberian perumpamaan (metode imtsal)
13. Metode targhieb dan tarhieb
14. Metode taubat dan ampunan
15. Metode- metode lainnya seperti motivasi.

Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam

1. Dasar Pendidikan Islam
Persoalan dasar dan tujuan pendidikan merupakan masalah yang sangat fundamental dalam pelaksanaan pendidikan, oleh karena itu corak dan isi pendidikan, serta tujuan pendidikan itu sangatlah menetukan ke arah mana peserta didik (santri) akan dibawa. Sehingga sangatlah urgen lembaga pendidikan Islam menentukan dasar dan tujan pendidikan Islam.
Sebagai aktivitas yang bergerak dalam proses pembinaan dan pembentukan kepribadian muslim (peserta didik), maka pendidikan Islam memerlukan asas atau dasar yang dijadikan landasan kerja, agar pendidikan Islam mampu memberikan kontribusi nyata bagi peserta didik (santri). Dengan dasar ini akan memberikan arah bagi pelaksanaan pendidikan yang telah diprogramkan. Dalam konteks ini, dasar yang menjadi acuan pendidikan Islam hendaknya merupakan sumber nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat menghantarkan peserta didik (santri) ke arah pencapaian pendidikan. Oleh karena itu, dasar yang terpenting dari pendidikan Islam adalah al-Quran dan Sunnah Rasulullah (hadits) yang dapat dikembangkan dengan ijtihad, al-maslahah al-mursalah, istihsan, qiyas, dan sebagainya. Menetapkan al-Qur’an, Sunnah Rasulullah (hadits) serta ijtihad sebagai dasar pendidikan Islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran yang didasarkan pada keimanan semata. Namun justru karena kebenaran yang terdapat dalam kedua dasar tersebut dapat diterima oleh nalar manusia dan dibolehkan dalam sejarah atau pengalaman kemanusiaan.
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an yang secara harfiah berarti “bacaan sempurna” merupakan suatu nama pilihan Allah yang sungguh tepat, karena tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal tulis-baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi Al-Qur’an Al-Karim, bacaan sempurna lagi mulia itu. al-Qur’an memiliki keuniversalan baik itu dari segi keluasan pengetahuannya maupun dari segi keluasan petunjuk tata cara hidupnya. al-Qur’an yang mempunyai keluasan pengetahuan dapat kita lihat ajaran yang terkandung didalamnya, yaitu yang berhubungan dengan masalah ketuhanan (keimanan) yang disebut Aqidah, dan sedangkan keluasan petunjuk tata cara hidup, yaitu yang berhubungan dengan amal (sesama manusia) yang disebut Syari’ah.
Dari beberapa pandangan al-Qur’an yang menjadi dasar pendidikan Islam dapat kita lihat dalam surah al-‘Alaq (1-5) yang berbunyi:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ {1} خَلَقَ الإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ {2} اقْرَأْ وَرَبُّكَ اْلأَكْرَمُ {3} الَّذِي عَلَّمَ ابِالْقَلَمِ {4} عَلَّمَ اْلإِنسَانَ مَالَمْ يَعْلَمْ {5}
Artinya:
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan-mu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhan-mullah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

Wahyu pertama itu tidak menjelaskan apa yang harus dibaca, karena al-Qur’an menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut بِاسْمِ رَبِّكَ (bismi Rabbik), dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Hal ini mengindikasikan bahwa al-Qur’an turun menjadi landasan fundamental buat penyelenggaraan pendidikan, agar peserta didik bukan hanya memiliki penegetahuan, tetapi bagaimana pengetahuan dimilikinya mampu teraplikasi dalam kehidupan sehari-harinya (bermanfaat).
b. Sunnah Rasulullah
As-Sunnah ialah perkataan, perbuatan ataupun pengakuan Rasul Allah Swt. Yang dimaksud dengan perkataan ialah kejadian perbuatan orang lain yang diketahui Rasulullah dan beliau membiarkan saja atau perbuatan itu berjalan. Sunnah merupakan ajaran kedua sesudah al-Qur’an.
Dalam pendidikan Islam, sunnah Rasul mempunyai dua fungsi, yaitu: (1) menjelaskan sistem pendidikan Islam terdapat dalam al-Qur’an dan menjelaskan hal-hal yang terdapat didalamnya. (2) menyimpulkan metode pendidikan dari kehidupan Rasulullah bersama sahabat, perlakuannya terhadap anak-anak, dan pendidikan keimanan yang pernah dilakukannya.
Oleh karena itu Sunnah merupakan landasan kedua bagi cara pembinaan pribadi manusia muslim. Sunnah selalu kemungkinan penafsiran. itulah sebabnya, mengapa ijtihad perlu ditingkatkan dalam memahaminya termasuk sunnah yang berkaitan dengan pendidikan.
c. Ijtihad
Ijtihad adalah istilah para fuqaha, yaitu berpikir dengan menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh ilmuwan syari’at Islam untuk menetapkan/menentukan sesuatu hukum syari’at Islam dalam hal-hal yang ternyata belum ditegaskan dalam oleh al-Qur’an dan Sunnah. Begitupun dengan pendidikan Islam yang menagalami perkembangan setiap saat, sehingga disinilah letak kepentingan mengapa ijtihad dijadikan sebagai salah satu dasar dari pendidikan Islam itu sendiri. Agar teori pendidikan Islam mampu berhubungan langsung dengan perkembangan yang terjadi. Akan tetapi, ijtihad dalam pendidikan Islam haruslah terus berpegang pada al-Qur’an dan Sunnah yang diolah oleh akal yang sehat dari para ahli pendidikan Islam.
Sejalan dengan itu maka pendidikan Islam sebagai suatu tugas dan kewajiban dalam mengemban aspirasi rakyat, harus mencerminkan dan menuju ke arah tercapainya masyarakat Pancasila dengan warna agama.
2. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan merupakan suatu yang diharapkan tercapai setelah sesuatu atau kegiatan selesai. Maka pendidikan, karena mrupakan suatu usaha dan kegiatan yang berproses melalui tahap-tahap dan tingkatan-tingkatan, tujuannya bertahap dan bertingkat. Secara garis besar tujuan dari pendidikan Islam sebagaimana dikemukakan oleh Said Agil Husin Al Munawar bahwa:
Membentuk manusia yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, maju dan mandiri sehingga mampu memiliki ketahanan rohaniah yang tinggi serta mampu beradapatasi dengan dinamika perkembangan masyarakat.

Sedangkan secara operasioanl ada beberapa tujuan pendidikan yaitu:
a. Tujuan Umum
Tujuan umum ialah tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan, baik dengan pengajaran atau dengan cara lain. Tujuan itu meliputu seluruh aspejk kemanusiaan yang meliputu sikap, tingkah laku, penampilan, kebiasaan dan pandangan. Olehnya itu tujuan umum ini berbeda pada setiap tingkat umur, kecerdasan, situasi dan kondisi. Bentuk insane kamil dengan pola takwa harus dapat trgambar pada pribadi seseorang yang sudah dididik walaupun dalam ukuran kecil dan mutu rendah, sesuia dengan tingkat-tingkat tersebut.
Tujuan umum pendidikan Islam harus dikaitkan pula dengan tujuan pendidikan nasional tempat pendidikan Islam itu diselenggarakan dan harus dikaitkan dengan tujuan institusional dari lembaga pendidikan sebagai pihak penyelenggara, karena setiap lembaga pendidikan mempunyai tujuan institusional yang berbeda-beda. Selanjutnya dari tujuan institusional ini dirumuskan mengenai tujuan kurikuler, berkenaan dengan tujuan pada pendidikan formal (sekolah, madrasah) yang selanjutnya dikembangkan dngan tujuan instruksional.
b. Tujuan Akhir
Pendidikan Islam itu berlangsung selama hidup, maka tujuan umum akhirnya terdapat pada waktu hidup di dunia ini telah berakhir pula. Artinya pendidikan Islam mampu memberikan keselamatan dunia akhirat.
Tujuan akhir pendidikan Islam itu dapat dipahami dalam firman Allah dalam surah Ali Imran (102) yang berbunyi:
يَاأَيُّهاَ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ {102}
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.

Dari ayat di atas dapat dipahami tujuan umum dari pendidikan Islam adalah mati dalam keadaan berserah diri kepada Allah sebagai muslim yang merupakan ujung dari takwa sebagai proses akhir dari proses pendidikan itu sendiri.
c. Tujuan Sementara
Tujuan sementara ialah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam kurikulum pendidikan formal. Artinya, bila dikaitkan dengan pendidikan Islam tujuan sementara ini sangat erat kaitannya dengan proses pendidikan yakni gambaran dari pengalaman proses pendidikan yang dialami peserta didik dapat kita lihat dari seberapa lama peserta didik mengenyam pendidikan formal, sehingga tingkat Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar pasti mempunyai perbedaan baik itu dari segi pengetahuan dan pengalaman. Atau dengan kata lain tujuan sementara ini peserta didik diberikan bobot pengalaman sesuai dengan tingkat pendidikannya.
d. Tujuan Operasioanal
Tujuan operasional ialah tujuan praktis yang akan dicapai dengan sejumlah kegiatan pendidikan terstentu. Dalam pendidikan formal, tujuan operasional ini disebut juga tujuan intruksional yang selanjutnya dikembangkan menjadi tujuan intruksional umum dan tujuan intruksional khusus (TIU dan TIK). Tujuan intruksioanl ini merupakan tujuan pengajaran yang direncanakan dalam unit-unit kegiatan pengajaran.
Dalam tujuan operasional ini lebih banyak dituntut dari anak didik suatu kemampuan dan keterampilan tertentu. Sifat operasinalnya lebih ditonjolkan dari sifat penghayatan dan kepribadian. Misalnya anak SD yang diajarkan cara bribadah, maka yang dituntut adalah bagaimana peserta didik tersebut terampil melakukan ibadah, meskipun ia belum memahami dan menghayati ibadah itu.

Perencanaan Pembelajaran

Perencanaan dapat diartikan sebagai proses penyusunan berbagai keputusan yang akan dilaksanakan pada masa yang akan datang untuk mencapai tujuan yang akan ditentukan (Gaffar,1987).
Fungsi perencanaan meliputi kegiatan menetapkan apa yang ingin dicapai bagaimana cara mencapainya, berapa lama waktu yang akan dibutuhkan, berapa orang yang diperlukan dan berapa banyak biayanya.
Yang dimaksud dengan Perencanaan pembelajaran berdasarkan beberapa pendapat, yakni;
1. Secara garis besar perencanaan pengajaran mencakup kegiatan merumuskan tujuan apa yang ingin dicapai oleh suatu kegiatan pengajaran, cara apa yang akan dipakai untuk menilai pencapaian tujuan tersebut, materi/bahan apa yang akan disampaikan, bagaimana cara menyampaikannya, alat atau media apa yang diperlukan (R. Ibrahim 1993:2).
2. Perencanaan Pembelajaran sebagai pedoman mengajar bagi guru/calon guru dan pedoman belajar bagi siswa.
3. Perencanaan Pembelajaran merupakan acuan jelas, oprasional, sistematis sebagai pedoman guru dan siswa dalam pembelajaran yang akan dilakukan.
Perencanaan Pembelajaran mikro, yaitu membuat perencanaan atau persiapan untuk setiap jenis keterampilan mengajar yang akan dilakukan.
Karakteristik Pembelajaran Mikro, setiap unsur perencanaan tersebut lebih disederhanakan, dan ada penekanaan terhadap jenis keterampilan apa yang akan dilatihkan.
Kesimpulan yang ditarik dari benang merah diatas, Perencanaan Pembelajaran adalah proses memperoyeksikan dari setiap komponen pembelajaran.
Menurut Ralph W. Tyler (1975) komponen-komponen pembelajaran tersebut meliputi empat unsur yaitu;
1. Tujuan Pembelajaran, adalah suatu yang ingin dicapai dalam kegiatan pembelajaran, yaitu gambaran perubahan perilaku siswa ke arah yang lebih positif, baik dari segi pengatahuan keterampilan dan sikap;
2. Isi Pembelajaran, merupakan isi atau bahan yang akan dipelajari siswa;
3. Kegiatan Pembelajaran;
4. Evaluasi.
Evaluasi juga berfungsi sebagai dasar diagnosis belajar siswa yang dilanjutkan dengan bimbingan atau untuk pemberian pengayaan.
Berdasarkan kepada beberapa kepentingan tersebut, tujuan dan manfaat perencanaan pembelajaran antara lain adalah;
1. Sebagai landasan pokok bagi guru dan siswa dalam mencapai kompetensi dasar dan indikator yang telah ditetapkan;
2. Memberikan gambaran mengenai acuan kerja jangka pendek;
3. Karena disusun dengan menggunakan pendekatan sistem, memberi pengaruh terhadap pengembangan individu siswa;
4. Karena dirancang secara matang sebelum pembelajran, berakibat terhadap nurturant effect.
Dalam pembelajaran mikro, ada hal yang disederhanakan, yaitu;
1. Tujuan atau indikator pembelajaran dibatasi hanya menyangkut aspek-aspek tertentu saja;
2. Materi pembelajaran tidak terlaru rumit;
3. Waktu pembelajaran dibatasi disesuaikan dengan selama 10 s.d 15 menit;
4. Kegiatan pembelajaran disesuaikan dengan waktu yang tersedia;
5. Evaluasi dilakukan sesuai dengan tujuan dan waktu yang tersedia.
Prinsip pembelajaran adalah merupakan kaidah, hukum dan ketentuan-ketentuan yang harus dijadikan patokan dalam membuat perencanaan pembelajaran. Penyusunan perencanaan pembelajaran yang didasarkan pada prinsip yang ditetapkan, maka akan menghasilkan suatu perencanaan pembelajaran yang baik dan siap untuk digunakan.
Prinsip tersebut, yakni;
1. Memperhatikan karakteristik siswa;
2. Berorentasi pada kurikulum yang berlaku;
3. Untuk kegiatan pembelajaran dikembangkan secara sistematis dengan mempertimbangkan urutan dari yang mudah menuju yang lebih sulit, dari yang bersifat sederhana kepada yang lebih komplek.
4. Lengkapi Perencanaan Pembelajaran dengan lembar kerja dan lembar tugas/petunjuk untuk observasi sesuai dengan kebutuhan dalam pembelajaran yang akan dilaksanakan;
5. Perencanaan Pembelajaran harus bersifat fleksibel untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat berlangsungnya pembelajaran;
6. Berdasarkan pendekatan sistem.
Dalam membuat Perencanaan Pembelajaran selian harus mempertimbangkan beberapa prinsip yang telah dikemukakan diatas, karena Perencanaan Pembelajaran sifatnya adalah pedoman oprasional bagi guru untuk melaksanakan proses pembelajaran. Maka Perencanaan Pembelajaran tersebut hendaknya dibuat dengan memperhatikan prinsip sebagai berikut;
1. Spesifik; 3. Sistematis;
2. Oprasional; 4. Jangka Pendek.
Perencanaan Pembelajaran dikatagorikan kedalam dua bentuk yaitu silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran. Unsur-unsur yang mesti ada dalam setiap perencanaan yaitu; Tujuan, materi, metode; sumber belajar dan penilaian hasil bekajar.
Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam membuat Perencanaan Pembelajaran adalah sebagai berikut;
1. Tuliskan identitas mata pelajaran;
2. Tuliskan standar kompetensi;
3. Materi pembelajaran;
4. Kegiatan Pembelajaran;
5. Menentukan alat, media dan sumber rujukan;
6. Menentukan prosedur evaluasi.
Pembelajaran mikro adalah mengajar yang sebenarnya tapi bukan pada kelas yang sebenarnya (real teacing but not real classroom teacing).
Pembelajaran mikro adalah proses latihan yang dilakukan secara terisolir dengan memusatkan pada jenis-jenis keterampilan dasar mengajar tertentu yang dilakukan secara bagian demi bagian dan dilakukan secara terkontrol.
Sebagai alat kontrol untuk mengatahui tingkat kemampuan peserta yang telah dilatih, dalam pembelajaran mikro dilengkapi oleh seperangkat alat atau instrumen lain, yaitu pedoman observasi.

Asas-asas Kurikulum

ANDY
(Tulisan ini sudah dipresentasikan di mata kuliah Pengembangan Kurikulun UIN Alauddin Makassar semester 5)


BAB I
PEDAHULUAN


A. Latar Belakang
Kurikulum merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam pendidikan dan Kurikulum merupakan alat yang sangat penting bagi keberhasilan suatu pendidikan. Tanpa kurikulum yang sesuai dan tepat akan sulit untuk mencapai tujuan dan sasaran pendidikan yang diinginkan dan proses pendidikan tidak akan berjalan mulus. Kurikulum diperlukan sebagai salah satu komponen untuk menentukan tercapainya tujuan pendidikan. Di dalam kurikulum terangkum berbagai kegiatan dan pola pengajaran yang dapat menentukan arah proses pembelajaran. Itulah sebabnya, menelaah dan mengkaji kurikulum merupakan suatu kewajiban bagi guru.
Berbicara lebih jauh mengenai kurikulum telah banyak yang mengemukakan pendapat para ahli pendidikan. Dalam PP No. 19 tahun 2005 tentang SNP dijelaskan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Senada dengan pengertian di atas, Oemar Hamalik menyatakan bahwa kurikulum adalah suatu alat yang amat penting dalam rangka merealisasi dan mencapai tujuan pendidikan sekolah. Dalam arti luas kurikulum dapat diartikan sesuatu yang dapat mempengaruhi siswa, baik dalam lingkungan sekolah maupun luar sekolah. Namun, kurikulum haruslah direncanakan agar pengaruhnya terhadap siswa benar-benar dapat diamati dan diukur hasilnya. Adapun hasil–hasil belajar tersebut haruslah sesuai dengan tujuan pendidikan yang diinginkan, sejalan dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat, relevan dengan kebutuhan sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat, sesuai dengan tuntutan minat, kebutuhan dan kemampuan para siswa sendiri, serta sejalan dengan dengan proses belajar para siswa yang menempuh kegiatan-kegiatan kurikulum.
Sementara S. Nasution menyimpulkan bahwa berbagai tafsiran kurikulum dapat kita tinjau dari segi lain, sehingga kita peroleh penggolongan yaitu: pertama, Kurikulum dapat dilihat sebagai produk, yaknisebagai hasil karya para pengembang kurikulum, biasanya dalam suatu panitia. Hasilnya dituangkan dalam bentuk buku atau pedoman kurikulum, yang misalnya berisi sejumlah mata pelajaran yang harus diajarkan. Kedua, kurikulum dapat pula dipandang sebagai program, yakni alat yang dilakuaka oleh sekolah untuk mencapai tujuannya. Ketiga, Kurikulum dapat dilihat sebagai hal-hal yang diharpkan dipelajari siswa, yakni pengetahuan, sikap, keterampilan tertentu. Keempat, kurikulum sebagai pengalaman siswa.
Dari beberapa pendapat di atas disimpulkan bahwa kurikulum merupakan seperangkat pelajaran yang harus diberikan kepada siswa dengan metode tertentu dan pengalaman belajar yang relevan dengan tujuan pembelajaran di bawah tanggung jawab sekolah. Kurikulum merupakan keseluruhan hasil belajar yang direncanakan dan di bawah tanggung jawab sekolah. Kurikulum tidak sekadar mempersoalkan sesuatu yang diajarkan, tetapi menyangkut pula bagaimana sebuah mata pelajaran diajarkan, diorganisasikan menjadi pengalaman bermakna bagi siswa.
Mengembangkan kurikulum bukan sesuatu yang mudah dan sederhana karena banyak hal yang harus dipertimbangkan dan banyak pertanyaan yang dapat diajukan untuk diperhitungkan. Misalnya, apakah yang ingin dicapai, manusia yang bagaimana yang diharpakn akan bentuk? dan seterusnya, hal ini mengindikasikan bahwa kurikulum haruslah kita lihat apakah relevan dengan tujuan Negara kita (filosofi Indonesia), apakah sejalan dengan kebutuhan manusia (asas psikologi), apakah sesuai dengan perkembangan, perubahan, kebudayaan keadaan masyarakat kita (asas sosiolgis), apakah sesuai dengan bentuk dan organisasi bahan pelajaran yang disajikan dan yang terakhir adalah apakah sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi (asas teknologi).
Dari paparan singkat di atas dapat kita pahami bahwa untuk mengembangkan kurikulum ternyata ada beberapa (empat atau lima) landasan atau asas yang perlu kita perhatikan. Sehingga dalam kesempatan kali ini pemakalah akan membahas landasan-landasan (asas-asas) tersebut.

B. Rumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan atas latar belakang tersebut, maka penulis hanya membatasi pada persoalan :
1. Hakikat Pengembangan Kurikulum
2. Asas-asas pengembangan Kurikulum
BAB II
ASAS- ASAS PENGEMBANGAN KURIKULUM

A. Hakikat Pengembangan Kurikulum
Kurikulum merupakan salah satu komponen yang memiliki peran penting dalam sistem pendidikan, sebab dalam kurikulum bukan hanya dirumuskan tentang tujuan yang harus dicapai sehingga memperjelas arah pendidikan, akan tetapi juga memberikan pemahaman tentang pengamalan belajar yang harus dimiliki setiap siswa. Oleh karena begitu pentingnya fungsi peran kurikulum, maka setipa penegembangan pada jenjang manapun harus didasarkan pada asas-asas tertentu.
Fungsi asas atau landasan penegembangan kurikulum adalah seperti fondasi sebuah bangunan. Apa yang akan terjadi seandainya sebuah gedung yang menjulang tinggi berdiri di atas fondasi rapuh? Ya tentu saja bangunan itu tidak akan bertahan lama. Oleh sebab itu, sebelum gedung dibangun, terlebih dahulu disusun fondasi yang kukuh. Semakin kukuh fondasi sebuah gedung, maka akan semakin kukuh pula gedung tersebut. Akan tetapi kita lihat di Indonesia, menjadi pertanyaan besar apakah hal ini dijadikan sebagai syarat utama ketika mengembangkan kurikulum?
Kurikulum mengalami perubahan sesuai dengan berkembangnya zaman. Di Indonesia, kurikulum sudah mengalami perubahan beberapa kali. Kurikulum di Indonesia diberi nama sesuai dengan tahun mulai berlakunya. Misalnya kurikulum 1975, 1984, 1994, 2004, dan yang termutakhir adalah kurikulum 2006 yang juga disebut KTSP. Akan tetapi pengembangan kurikulum, jika kita lihat dilapangan khususnya di desa, maka akan terdengar statement bahwa kurikulum 2006 (KBK) belum dipahami sepenuhnya, sudah muncul kurikulum baru (yakni KTSP). Hal ini sebuah realitas yang tak bisa kita ingkari, akan tetapi penyebab dari permasalahan ini bisa jadi dari pemerintah ataupun orang yang terlibat dalam pendidikan.
Layaknya membangun sebuah gedung, maka menyusun sebuah kurikulum juga harus didasrkan pada fondasi yang kuat. Kesalahan menentukan dan menyusun kurikulum berarti kesalahan dalam menentukan kebijakan dan implementasi pendidikan. apa yang akan terjadi seandainya terdapat kekeliruan dalam menetukan kebijakan dan mengimplementasikan sistem pendidikan?
Penegembangan kurikulum pada hakikatnya proses penyusunan rencana tentang isi dan bahan pelajaran yang harus dipelajari sertabagaimana cara mempelajrinya. Namun demikian, persoalan mengenmabngkan isi dan bahan pelajaran serta bagaimana cara belajarsiswa bukanlah suatu proses yang sederhana, sebab menentukan isi atau muatan kurikulum harus berangkat dari visi, misi, serta tujuan yang ingin dicapai; sedangkan menetukan tujuan erat kaitannya dengan persoalan sistem nilai dan kebutuhan masyarakt. Persoalan inilah yang kemudian membawa kita pada persoalan menentukan hal-hal yang mendasar dalam proses pengembangan kurikulum yang kemudian kita namakan asas-asas atau landasan pengembangan kurikulum.
B. Asas-Asas Pengembangan Kurikulum
Guru, sebagai pengembang kurikulum dalam skala mikro, perlu memahami kurikulum dan asas-asas yang mendasarinya. Karena guru mempunyai peran sentral dalam mencerdaskan kehidupan bangsa atau guru sebagai agen pembelajaran.
Karena kita ketahui bersama asas merupakan pondasi (landasan), sehingga hal ini sangat urgen untuk kita ketahui. Terlebih lagi hal ini merupakan kritik sosial buat pemerintah apakah yang selama ini mereka sajikan (kurikulum) mempunyai relevan dengan keempat asas ini atau tidak relevan. Sehingga kita mengetahui, pertama apakah memang kurikulum yang selama ini kita pakai sesuai dengan tujuan Negara (asas filosofi), kedua apakah sejalan dengan kebutuhan manusia (asas psikologi), ketiga apakah sesuai dengan perkembangan, perubahan, kebudayaan dan keadaan masyarakat kita (asas sosiolgis), apakah sesuai dengan bentuk dan organisasi bahan pelajaran yang disajikan (asas organisatoris) dan yang terakhir adalah apakah sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi (asas teknologi).
Pada kesempatan ini penulis akan menjelaskan keempat asas diatas yakni asas filosofi, asas psikologi, asas sosiolgis, dan asas teknologi sebagai berikut.

1. Asas Filosofis
Filsafat dalam bahasa Inggris, yaitu: philosophy, adapun istilah filsafat berasal dari bahsa Yunani: philosophia, yang terdiri dari atas dua kata: philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan sophos (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi). Jadi, secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijakasanaan atau kebenaran (love of wisdom). Orangnya disebut filosof yang dalam bahasa Arab disebut failasuf. Ada pula yang mengartikan filsafat sebenarnya adalah cinta akan kebenaran, yang merupakan rangkaian dari dua kata philo (cinta) dan shopia (kebijakan).
Sebagai induk dari semua pengetahuan, filsafat dapat dirumuskan sebagai kajian tentang ; metafisika yang membahas segala yang ada di alam ini, epistemologi yang membahas kebenaran, dan axiology,yang membahas nilai.Apabila diamati dari unsur-unsur tersebut, tampaknya filsafat mempunyai jangkauan kajian yang sangat luas. Bagi pengembang kurikulum, dengan memiliki pengetahuan filsafat maka akan memberikan dasar yang kuat untuk mengambil suatu keputusan yang tepat dan konsisten. Filsafat membahas segala permasalahan yang dihadapi oleh manusia termasuk masalah-masalah pendidikan ini yang disebut filsafat pendidikan. Walaupun dilihat sepintas filsafat pendidikan ini hanya merupakan aplikasi dari pemikiran-pemikiran filosofis untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan, tetapi antara keduanya, yaitu filsafat dan pendidikan terdapat hubungan yang sangat erat. Menurut Donald Butler, filsafat memberikan arah dan metodologi terhadap praktek pendidikan sedangkan praktek pendidikan memberikan bahan-bahan bagi pertimbangan filosofis.
Namun suatu hal yang perlu diperhatikan oleh pengembang kurikulum adalah bahwa pengembang kurikulum tidak bisa hanya menonjolkan filsafat pribadinya, tetapi juga perlu mempertimbangkan filsafat yang lain, antara lain falsafah negara dan falsafah lembaga pendidikan. Setiap negara pasti mempunyai suatu falsafah atau pandangan pokok mengenai pendidikan. Di Indonesia landasan filosofisnya adalah Pancasila. Seperti dinyatakan dalam ketetapan MPR No. II/MPR/1968, Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia dan negara kita.Tiap lembaga pendidikan mempunyai misi dalam rangka bagian dari pendidikan nasional. Falsafah suatu lembaga pendidikan (Universitas, IAIN, UIN, STAIN, Akademi maupun Sekolah). Hal inilah yang terkadang pengembang kurikulum “kecolongan” dalam arti kurang memperhatikan, sehingga apa yang mereka sajikan kadang-kadang tidak sesuai keinginan si pemakai kurikulum tersebut (misalnya guru, dosen dan mahasiswa). Hal ini bisa kita lihat realitas yang terjadi dilembaga-lembag pendidikan di Indonesia.
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, kebanyakan lembaga-lembaga pendidikan jarang membuat falsafah lembaganya secara tertulis. Falsafah yang dimaksudkan disini adalah mencakup, Pertama alasan rasional mengenai eksistensi lembaga pendidikan itu. Kedua, prinsip-prinsip pokok yang mendasarinya. Ketiga, nilai-nilai dan prinsip yang dijunjung tinggi, dan yang keempat prinsip-prinsip pendidikan mengenai anak, hakikat proses belajar mengajar dan hakikat pengetahuan.
Umumnya sekolah bertujuan mendidik anak agar menjadi manusia yang “baik”. Faktor “baik” tidak hanya ditentukan oleh nilai-nilai, cita-cita, atau filsafat yang dianut sebuah negara, tetapi juga oleh guru, orang tua, masyarakat, bahkan dunia. Kurikulum mempunyai hubungan yang erat dengan filsafat suatu bangsa, terutama dalam menentukan manusia yang dicita-citakan sebagai tujuan yang harus dicapai melalui pendidikan formal. Kurikulum yang dikembangkan harus mampu menjamin terwujudnya tujuan pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.
Jadi, asas filosofis berkenaan dengan tujuan pendidikan yang sesuai dengan filsafat negara. Perbedaan filsafat suatu negara menimbulkan implikasi yang berbeda di dalam merumuskan tujuan pendidikan, menentukan bahan pelajaran dan tata cara mengajarkan, serta menentukan cara-cara evaluasi yang ditempuh. Apabila pemerintah bertukar, tujuan pendidikan akan berubah sama sekali. Di Indonesia, penyusunan, pengembangan, dan pelaksanaan kurikulum harus memperhatikan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Garis-Garis Besar Haluan Negara sebagai landasan filosofis negara.
Mengapa filsafat sangat diperlukan dalam dunia pendidikan? Menurut Nasution, filsafat besar manfaatnya bagi kurikulum, yakni:
• Filsafat pendidikan menentukan arah ke mana anak-anak harus dibimbing. Sekolah ialah suatu lembaga yang didirikan oleh masyarakat untuk mendidik anak menjadi manusia dan warga negara yang dicita-citakan oleh masyarakat itu. Jadi, filsafat menentukan tujuan pendidikan.
• Dengan adanya tujuan pendidikan ada gambaran yang jelas tentang hasil pendidikan yang harus dicapai, manusia yang bagaimana yang harus dibentuk.
• Filsafat juga menentukan cara dan proses yang harus dijalankan untuk mencapai tujuan itu.
• Filsafat memberikan kebulatan kepada usaha pendidikan, sehingga tidak lepas-lepas. Dengan demikian terdapat kontinuitas dalam perkembangan anak.
• Tujuan pendidikan memberikan petunjuk apa yang harus dinilai dan hingga mana tujuan itu telah tercapai.
• Tujuan pendidikan memberi motivasi dalam proses belajar-mengajar, bila jelas diketahui apa yang ingin dicapai.
Menurut Bloom, tujuan pendidikan dapat digolongkan kedalam tiga klasifikasi atau tiga domain (bidang), yaitu domain kognitif, afektif, dan psikomotorik. Domain kognitif berhubungan dengan pengembangan intelektual atau kecerdasan. Bidang afektif berhubungan dengan penegmbangan sikap dan bidang psikomotorik berhubungan dengan keterampilan. Setiap Negara atau masyarakat akan memakanai ketiga bidang pengembanagn itu sesuai dengan sistem nilai yang berlaku. Demikina juga halnya Indonesia. Sebagai suatu bangsa yang memiliki sistem nilai sendiri, yakni Pancasila, maka ketiga bidang itu mestinya dibingkai oleh kebenaran dan nilai-nilai pancasila. Kecerdasan yang harus dikembangkan, sikap yang harus ditanamkan, dan keterampilan yang harus dikuasai oleh setiap anaka didik kita tidak terlepas dari nilai-nilai pancasila. Dengan demikian sebagai sistem nilai, Pancasila menjadi bingkai dari tujuan pelasanaan pendidikan.

2. Asas Psikologi
1) Psikologi Anak
Sekolah didirikan untuk anak, untuk kepentingan anak, yakni menciptakan situasi-situasi yang memungkinkan anak dapat belajar mengembangkan bakatnya . Selama berabad-abad, anak tidak dipandang sebagai manusia yang lain daripada orang dewasa dan karena itu mempunyai kebutuhan sendiri sesuai dengan perkembangannya. Hal ini tampak dari kurikulum yang mengutamakan bahan, sedangkan anak “dipaksa” menyesuaikan diri dengan bahan tersebut dengan segala kesulitannya. Padahal anak mempunyai kebutuhan sendiri sesuai dengan perkembangannya. Pada permulaan abad ke -20, anak kian mendapat perhatian menjadi salah satu asas dalam pengembangan kurikulum. Kemudian muncullah aliran progresif, yakni kurikulum yang semata-mata didasarkan atas minat dan perkembangan anak (child centered curiculum). Kurikulum ini dapat diapandang sebagai reaksi terhadap kurikulum yang diperlukan orang dewasa tanpa menghiraukan kebutuhan anak. Namun gerakan ini tak dapat tiada menarik perhatian para pendidik, khususnya para pengembang kurikulum untuk selalu menjadikan anak sebagai salah satu pokok pemikiran.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kurikulum adalah:
• Anak bukan miniatur orang dewasa
• Fungsi sekolah di antaranya mengembangkan pribadi anak seutuhnya.
• Faktor anak harus benar-benar diperhatikan dalam pengembangan kurikulum
• Anak harus menjadi pusat pendidikan/sebagai subjek belajar dan bukan objek belajar.
• Tiap anak unik, mempunyai ciri-ciri tersendiri, lain dari yang lain. Kurikulum hendaknya mempertimbangkan keunikan anak agar ia sedapat mungkin berkembang sesuai dengan bakatnya.
• Walaupun tiap anak berbeda dari yang lain, banyak pula persamaan di antara mereka. Maka sebagian dari kurikulum dapat sama bagi semua.


2) Psikologi Belajar
Pendidikan di sekolah diberikan dengan kepercayaan dan keyakinan bahwa anak-anak dapat dididik, dpat dipengaruhi kelakuannya. Anak-anak dapat belajar, dapat menguasai sejumlah pengetahuan, mengubah sikapnya, menerima norma-norma, menguasai sejumlah keterampilan. Soal yang penting ialah: bagaimana anak itu belajar? Kalau kita tahu betul bagaimana proses belajar berlangsung, dalam keadaan yang bagaimana belajar itu memberikan hasil sebaik-baiknya, maka kurikulum dapat direncanakan dan dilaksanakan dengan cara seefektif-efektifnya. Sehingga apa yang kita lihat pada umumnya kurikulum itu dijadikan sebagi bahan menakutkan buat pengajar dan peserta didik.
Karena belajar merupakan aktivitas seseorang untuk mentransformasikan ilmu (apakah ia dewasa atau anak-anak), dan kita ketahui bersama bahwa belajar itu ternyata suatu proses yang pelik dan kompleks, timbullah berbagai teori belajar yang menunjukkan ketidaksesuaian satu sama lain. Pada umumnya tiap teori mengandung kebenaran. Akan tetapi tidak memberikan gambaran tentang keseluruhan proses belajar. Jadi, yang mencakup segala gejala belajar dari yang sederhana sampai yang paling pelik. Dengan demikian, teori belajar dijadikan dasar pertimbangan dalam pengembangan kurikulum.
Pentingnya penguasaan psikologi belajar dalam pengembangan kurikulum antara lain diperlukan dalam hal:
• seleksi dan organisasi bahan pelajaran
• menentukan kegiatan belajar mengajar yang paling serasi
• merencanakan kondisi belajar yang optimal agar tujuan belajar tercapai

3. Asas Sosiolgis atau Sosial Budaya
Suatu kurikulum pada prinsipnya mencerminkan keinginan, cita-cita dan kebutuhan masyarakat. Dalam mengambil keputusan tentang kurikulum para pengembang kurikulum hendaknya merujuk pada lingkungan atau dunia dimana mereka tinggal, merespon terhadap berbagai kebutuhan yang dilontarkan atau diusulkan oleh beragam golongan dalam masyarakat. Sangat banyak kebutuhan masyarakat yang harus dipilah-pilah, disaring dan diseleksi agar menjadi suatu keputusan dalam mengembangkan kurikulum

Kompleksitas kehidupan dalam masyarakat disebabkan oleh, pertama,
Dalam masyarakat terdapat tata kehidupan yang beraneka ragam, Kedua,
Kepentingan antar individu berbeda-beda, dan Ketiga,
Masyarakat selalu mengalami perkembangan.

Mendidik peserta didik dengan baik hanya mungkin jika kita memahami masyarakat tempat ia hidup. Peserta didik tidak hidup sendiri terisolasi dari manusia lain. Ia selalu hidup dalam suatu masyarakat. Di situ, ia harus memenuhi tugas-tugas yang harus dilakukannya dengan penuh tanggung jawab, baik sebagai anak maupun sebagai orang dewasa kelak. Ia banyak menerima jasa dari masyarakat dan ia sebaliknya harus menyumbangkan baktinya bagi kemajuan masyarakat.
Tiap masyarakat mempunyai norma-norma, adat kebiasaan yang harus dikenal dan diwujudkan anak dalam pribadinya, lalu dinyatakannya dalam kelakuan. Tiap masyarakat berlainan corak nilai-nilai yang dianutnya. Tiap anak akan berbeda latar belakang kebudayaanya. Perbedaan ini harus dipertimbangkan dalam kurikulum. Selain itu, perubahan masyarakat akibat perkembangan iptek merupakan faktor yang benar-benar harus dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum. Karena masyarakat merupakan faktor penting dalam pengembangan kurikulum, masyarakat dijadikan salah satu asas.
Hal di atas telah dijelaskan bahwa masyarakat pada umumnya mempunyai kondisi sosial yang berbeda, akan tetapi kurikulum yang selama ini dipakai dalam lembaga pendidikan kita “terlau dipaksakan”. Buktinya, ketika di Negara Barat berhasil menerapkan satu kurikulum yang kemudian diiringi dengan keberhasilan, maka dengan sendirinya kurikulum itu menjadi acuan Negara kita atau setidaknya hal itu menjadi contoh, walaupun secara sosiologis atau sosial budaya masyarakatnya tidak sama.
4. Asas Teknologi
Yang dimaksud dengan asas pengembangan ilmu dan teknologi adalah para pengambil kebijakan kurikulum hendaknya memperhatikan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat. Beberapa masyarakat terpencil yang tertutup, dengan adanya transportasi dan komunikasi yang luas berubah menjadi masyarakat yang terbuka dan mau berkomunikasi dengan daerah-daerah lain. Masyarakat yang tadinya hanya konsumtif terhadap hasil-hasil pertanian telah berubah menjadi masyarakat yang lebih konsumtif terhadap produksi industri. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga menimbulkan kebutuhan baru, aspirasi baru, sikap hidup baru. Hal-hal di atas menuntut perubahan pada sistem dan isi pendidikan.
Sehingga, pendidikan bukan hanya mewariskan nilai-nilai dan hasil kebudayaan lama, tetapi juga mempersiapkan generasi muda agar mampu hidup pada masa kini dan masa yang akan datang. Dalam kaitannya dengan pengajaran di Indonesia, maka sudah seyogyanya mulai menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu dan teknologi yang ada sekarang ini. Sehingga problema kegagalan siswa memperoleh kemampuan aktif ekspresif bisa diatasi.
Namun demikian, segala kemajuan yang telah mampu diraih oleh umat manusia itu, bukan tanpa masalah. Pada kenyataannya terdapat berbagai efek negatif yang justru sangat mencemaskan manusia itu sendiri. Sehingga permasalahan-permasalahan baru ini menyebabkan komplesitas tugas-tugas pendidikan yang diemban oleh sekolah.
Kemajuan dibidang teknologi memiliki andil besar dalam perubahan pola hidup masyarakat. Kenyataan semacam ini memiliki konsekuensi terhadap cara dan strategi yang harus dipersiapkan oleh lembaga pendidikan. Kurikulum harus didesain agar mampu membentuk manusia produktif yang bukan hanya dapat bekerja, akan tetapi lebih jauh dapat mencintai pekerjaan. Manusia yang hanya dapat bekerja berbeda dengan manusia yang mencintai pekerjaan. Manusia yang hanya sekedar dapat bekerja orientasinya biasanya ditunjukkan oleh besar upah yang dapat diterima. manusia semacam ini tidak lebih dari seorang buruh yang bekerja dengan ototnya. Sedangkan manusia yang mencintai pekerjaan orientasinya adalah produk yang dihasilkannya. Manusia yang demikianlah yang dimaksud dengan manusia produktif, yang bekerja bukan hanya dengan ototnya akan tetapi juga dengan ototnya.
BAB III
PENUTUP

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Kurikulum merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam pendidikan dan Kurikulum merupakan alat yang sangat penting bagi keberhasilan suatu pendidikan. Kurikulum selalu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman, Kurikulum mengalami perubahan sesuai dengan berkembangnya zaman. Di Indonesia, kurikulum sudah mengalami perubahan beberapa kali. Kurikulum di Indonesia diberi nama sesuai dengan tahun mulai berlakunya. Misalnya kurikulum 1975, 1984, 1994, 2004, dan yang termutakhir adalah kurikulum 2006 yang juga disebut KTSP.
2. Di dalam mengembangkan kurikulum, perlu diperhatikan asas-asas kurikulum, yang meliputi asas filosofis berkenaan dengan tujuan pendidikan yang sesuai dengan filsafat negara, asas psikologis berkenaan dengan kondisi psikis seseorang, asas sosiologis berkenan dengan kondisi masyarakt setempat, dan asas perkembangan ilmu dan teknologi berkenaan dengan perkembangan teknologi yang terjadi dimasyarakat kita, bagaimana pola hidup masyarakat setempat terhadap ilmu dan kemajuan teknologi. Sehingga orang yang bergelut dalam pengembangan kurikulum di negara kita, seharusnya memperhatikan asas-asas atau landasan keempat itu.
DAFTAR PUSTAKA
Anam, Khaerul. HS. Aspek-Aspek Pembelajaran. Makassar: tt. th.

Arifin, M. H. Ilmu Pendidikan Islam: Suatu tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Cet. IV. Jakarta: Bumi Aksara. 1996.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2004.

Hasbullah. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2001.

Majid, Abdul dan Dian Andayani. Pendidikan Islam Berbasis Kompetensi, Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004. Bandung : Penerbit Remaja Rosdakarya. 2004.
Mulyasa, E. Standar Kompetensi dan Sertfikasi Guru. Bandung :Remaja Rosdakarya. 2007.

Nasution, S. Asas-asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara. 2008.
http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/asas-asas-kurikulum pengajaran-bahasa-arab-0, diunduh pada tanggal 29 pebruari 2010.
PP Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Sanjaya, Wina. DR. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2009.

Saleh, Taufikurrahman. Membangun Pendidikan Indonesia: Reformasi Pendidikan Menuju Masyarakat Berbasis Ilmu Pengetahuan. Cet I. Jakarta: LPP PP IPNU. 2009.
Sukmadinata, Nana Syaodih. Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek, Cet ke 7. Bandung : Penerbit Remaja Rosdakarya. 2005.

Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra. Bandung : Penerbit Remaja Rosda Karya. 2001.

http://tonipurwakarta.blogspot.com/2009/01/azas-azas-kurikulum.html. diunduh pada tanggal 29 pebruari 2010.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem pendidikan nasional

http://webersis.com/2008/10/10/inovasi-kurikulum/. diunduh pada tanggal 29 pebruari 2010.

Widodo, Sembodo Ardi. Pengembangan Kurikulum. Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta,Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Bahasa Arab.2003.

Sanjaya, Wina. Kurikulum dan Pemebelajaran: Teori dan Praktik Penegembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2008.

Zein, Muhammad. Asas dan Pengembangan Kurikulu. Yogyakarta : Sumbangsih Offset. TTh.