Jumat, 04 Juni 2010

Humanisasi Pendidikan Islam

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Akhir-akhir ini istilah humanisasi dan dehumanisasi pendidikan sering dilontarkan di media masa oleh para pengamat dan praktisi pendidikan. Beberapa di antaranya ada secara tersirat dalam tulisan bertajuk 'sekolah yang membunuh siswanya' dan malpraktik dalam dunia pendidikan'. Penggunaan istilah dehumanisasi itu mengisyaratkan sebagai kritik terhadap beberapa kebijakan pendidikan yang dewasa ini telah dinilai melenceng dari konsep pendidikan yang sebenarnya. Jauh sebelum itu, seorang filsof ternama Immanuel Kant menyatakan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Menurut konsep ini, anak manusia harus dididik oleh manusia, dengan cara manusia, dan dalam nuansa kehidupan manusia. Mengingat bahwa pendidikan adalah ilmu normatif, maka fungsi institusi pendidikan adalah menumbuh-kembangkan subyek didik ke tingkat yang normatif lebih baik, dengan cara/jalan yang baik, serta dalam konteks yang positif. Disebut subyek didik karena peserta didik bukan merupakan obyek yang dapat diperlakukan semaunya pendidik, bahkan seharusnya dipandang sebagai manusia lengkap dengan harkat kemanusiannya. Dengan cara itu, anak manusia itu akan tumbuh dan berkembang menjadi manusia seutuhnya. Masih teringat cerita Kama dan Kamala di India yang mengisahkan bahwa dua anak manusia yang dipelihara oleh serigala di hutan belantara, jelas-jelas hanya akan menghasilkan manusia serigala, bukan manusia seutuhnya.
Pendidikan merupakan bagian dari perjalanan hidup umat manusia yang ingin maju. Pendidikan adalah salah satu aspek dalam Islam dan menempati kedudukan yang sentral, karena peranannya dalam membentuk pribadi muslim yang utuh sebagai pembawa misi kekhalifahan. Allah telah membekali manusia dengan akal ( kemampuan rasio ) dan al – Qur’an memberi dukungan yang kuat bagi usaha manusia untuk meningkatkan standard kehidupan. Pendidikan juga termasuk pendidikan Islam merupakan instrumen bagi manusia untuk mengembangkan potensi dasar yang dianugerahkan Tuhan. Fungsi pendidikan yang utama adalah mentransformasikan pengetahuan, keterampilan, dan menginternalisasi nilai-nilai yang dibutuhkan manusia untuk bisa hidup sempurna sebagai manusia. Dari sudut pandang manusia, pendidikan adalah proses sosialisasi, yakni memasyarakatkan nilai-nilai, ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam kehidupan. Emile Durkheim, dalam karyanya, Education and Sociology (1956) mengatakan bahwa pendidikan merupakan produk manusia yang menetapkan kelanggengan kehidupan manusia itu sendiri, yaitu mampu hidup konsisten mengatasi ancaman dan tantangan masa depan.
Mengenai pendidikan Islam, ia merupakan sebuah institusi sosial yang menjadi bagian integral dari masyarakatnya. Sebagai sebuah institusi sosial, pendidikan secara ideal memiliki fungsi budaya, yaitu untuk melestarikan dan mengembangkan sistem nilai masyarakat. Sebagai suatu organized intelligence, ia menjadi centrum dari berbagai kecerdasan yang diorganisasi untuk menghasilkan sebuah masyarakat yang beradab.
Mengingat bahwa pendidikan adalah ilmu normatif, maka fungsi institusi pendidikan adalah menumbuh-kembangkan subyek didik ke tingkat yang normatif lebih baik, dengan cara/jalan yang baik, serta dalam konteks yang positif. Disebut subyek didik karena peserta didik bukan merupakan obyek yang dapat diperlakukan semaunya oleh pendidik, bahkan seharusnya dipandang sebagai manusia lengkap dengan harkat kemanusiannya. Menurut Freire, fitrah manusia sejati adalah menjadi pelaku atau subyek, bukan penderita atau obyek. Panggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang menindasnya. Dunia dan realitasnya bukan "sesuatu yang ada dengan sendirinya", dan karena itu "harus diterima menurut apa adanya", sebagai suatu takdir atau nasib yang tak terelakkan. Manusia harus menggeluti dunia dan realitas dengan penuh sikap kritis dan daya cipta, dan itu berarti manusia mampu memahami keberadaan dirinya.
Oleh karena itu, pendidikan harus berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri, dan harus mampu mendekatkan manusia dengan lingkungannya. Adanya beberapa bentuk kekerasan dalam pendidikan yang masih merajalela merupakan indikator bahwa proses atau aktivitas pendidikan kita masih jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Di sinilah urgensi humanisasi pendidikan. Humanisasi pendidikan merupakan upaya untuk menyiapkan generasi yang cerdas nalar, cerdas emosional, dan cerdas spiritual, bukan menciptakan manusia yang kerdil, pasif, dan tidak mampu mengatasi persoalan yang dihadapi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dikemukakan beberapa permasalahan yang dijadikan sebagai pokok pembahasan dalam penyusunan makalah ini. Masalah tersebut dapat dirinci dan dibatasi sebagai berikut :
1. Pengertian humanisasi dan pendidikan ?
2. Bagaimanakah orientasi pendidikan Islam ?
3. Paradigma pendidikan Islam humanis ?

C. Tujuan Penulisan

Bertitik tolak dari permasalahan tersebut diatas, maka tujuan dari tulisan ini adalah:
1. Untuk mengungkapkan tentang pengertian humanisasi dalam pendidikan.
2. Untuk mendeskripsikan secara luas tentang orientasi pendidikan Islam.
3. Memeberikan gambaran secara komprehensif mengenai paradigma pendidikan Islam humanis.
BAB II
HUMANISASI PENDIDIKAN ISLAM


A. Pengertian Humanisasi dan Pendidikan
Humanisasi artinya proses menjadikan manusia sebagai manusia sesuai dengan kodratnya sebagai manusia. Dalam kamus ilmiah populer arti dari kata humanisasi adalah pemanusiaan/penerapan rasa perikemanusiaan. Sedangkan humanisme adalah suatu doktrin yang menekan kepentingan-kepentingan kemanusiaan dan ideal (humanisme pada zaman renaissans didasarkan atas peradaban Yunani purba, sedangkan humanisme modern menekankan manusia secara eksklusif). Humanisasi bagi Malik Fadjar berimplikasi pada proses kependidikan dengan orientasi pengembangan aspek-aspek kemanusiaan manusia, yakni aspek fisik-biologis dan ruhaniah-psikologis. Aspek rohaniah-psikologis inilah yang dicoba didewasakan dan di-insan kamil-kan melalui pendidikan sebagai elemen yang berpretensi positif dalam pembangunan kehidupan yang berkeadaban. Makna kemanusiaan harus selalu dirumuskan secara baru dalam setiap perjumpaan dengan realitas dan konteks yang baru. Kemanusiaan perlu dilihat bukan sebagai esensi tetap atau situasi akhir. Makna kemanusiaan adalah proses menjadi manusiawi dalam interaksi antar manusia dengan konteks dan tantangan yang terus berkembang. Humanisme dipandang sebagai sebuah gagasan positif oleh kebanyakan orang. Humanisme mengingatkan kita akan gagasan-gagasan seperti kecintaan akan peri kemanusiaan, perdamaian, dan persaudaraan. Tetapi, makna filosofis dari humanisme jauh lebih signifikan; humanisme adalah cara berpikir bahwa mengemukakan konsep peri kemanusiaan sebagai fokus dan satu-satunya tujuan. Dengan kata lain, humanisme mengajak manusia berpaling dari Tuhan yang menciptakan mereka, dan hanya mementingkan keberadaan dan identitas mereka sendiri. Kamus umum mendefinisikan humanisme sebagai sebuah sistem pemikiran yang berdasarkan pada berbagai nilai, karakteristik, dan tindak tanduk yang dipercaya terbaik bagi manusia, bukannya pada otoritas supernatural manapun.
Dalam sejarah pemikiran konsep humanis ini nyaris identik dengan ateisme, dan fakta ini dengan bebas diakui oleh kaum humanis. Terdapat dua manifesto/pernyataan penting yang diterbitkan oleh kaum humanis di abad yang lalu. Yang pertama dipublikasikan tahun 1933, dan ditanda tangani oleh sebagian orang penting masa itu. Empat puluh tahun kemudian, di tahun 1973, manifesto humanis kedua dipublikasikan, menegaskan yang pertama, tetapi berisi beberapa tambahan yang berhubungan dengan berbagai perkembangan yang terjadi dalam pada itu. Ribuan pemikir, ilmuwan, penulis, dan praktisi media menandatangani manifesto kedua, yang didukung oleh Asosiasi Humanis Amerika yang masih sangat aktif.
Jika kita pelajari manifesto-manifesto itu, kita menemukan satu pondasi dasar pada masing-masingnya; dogma ateis bahwa alam semesta dan manusia tidak diciptakan tetapi ada secara bebas, bahwa manusia tidak bertanggung jawab kepada otoritas lain apa pun selain dirinya, dan bahwa kepercayaan kepada Tuhan menghambat perkembangan pribadi dan masyarakat. Enam pasal pertama dari Manifesto Humanis adalah; Pertama; Humanis memandang alam semesta ada dengan sendirinya dan tidak diciptakan. Kedua; Humanisme percaya bahwa manusia adalah bagian dari alam dan bahwa dia muncul sebagai hasil dari proses yang berkelanjutan. Ketiga; Dengan memegang pandangan hidup organik, humanis menemukan bahwa dualisme tradisional tentang pikiran dan jasad harus ditolak. Keempat; Humanisme mengakui bahwa budaya religius dan peradaban manusia, sebagaimana digambarkan dengan jelas oleh antropologi dan sejarah, merupakan produk dari suatu perkembangan bertahap karena interaksinya dengan lingkungan alam dan warisan sosialnya. Individu yang lahir di dalam suatu budaya tertentu sebagian besar dibentuk oleh budaya tersebut. Kelima; Humanisme menyatakan bahwa sifat alam semesta digambarkan oleh sains modern membuat jaminan supernatural atau kosmik apa pun bagi nilai-nilai manusia tidak dapat diterima. Keenam; Kita yakin bahwa waktu telah berlalu bagi ateisme, deisme, modernisme, dan beberapa macam “pemikiran baru”.
Dari definisi humanisme di atas, nampak sekali para humanis menganggap bahwa manusia adalah segala pusat aktifitas dengan meninggalkan peran Tuhan dalam kehidupannya. Hal ini berbeda dengan Islam yang meyakini ada kekuatan lain pada diri manusia yaitu pencipta alam ini. Sehingga humaniseme apa yang dipahami oleh “Barat” tidak serta merta kita dapat mengadopsinya, karena kita meyakini bahwa kita adalah makhluk beragama (percaya adanaya Tuhan). Sehingga jika kita tarik pengertian humanis dalam Islam adalah memanusiakan manusia sesuai dengan perannya sebagai khalifah di bumi ini. Al-Qur`an menggunakan empat term untuk menyebutkan manusia, yaitu basyar, (QS. al-Baqarah, 2:187 ) al-nas,( QS. al-Hujurat, 49:13) bani adam (QS. al-Isra, 17:70) dan al-insan (QS. al-Dzariyat , 51:56). Keempat term tersebut mengandung arti yang berbeda-beda sesuai dengan konteks yang dimaksud dalam al-Qur`an.
Dari beberapa ayat di atas dapat disimpulkan bahwa manusia itu makhluk yang sempurna. Kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya yaitu dari mulai proses penciptaannya (QS. al-Sajdah, 32:7-9, al-Insan, 76:2-3), bentuknya (QS. al-Tin, 95:4) serta tugas yang diberikan kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi (QS. al-Baqarah, 2:30-34, al-An`am, 6:165) dan sebagai makhluk yang wajib untuk mengabdi kepada Allah(QS.al-Dzariyat,51:56). Begitu tingginya derajat manusia, maka dalam pandangan Islam, manusia harus menggunakan potensi yang diberikan Allah kepadanya untuk mengembangkan dirinya baik dengan panca inderanya, akal maupun hatinya sehingga benar-benar menjadi manusia seutuhnya.
Sedangkan pendidikan menurut UU RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar danproses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinyauntuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas, pendidikan adalah suatu proses penamaan sesuatu ke dalam diri manusia mengacu kepada metode dan sistem penamaan secara bertahap, dan kepada manusia penerima proses dan kandungan pendidikan tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan proses pembentukan kepribadian yang dewasa.
Dari paparan di atas kata humanisasi atau humanisme kemudian apabila disandingkan dengan kata pendidikan, maka akan nampak pengertian bahwa sistem kerja dari proses sebuah pendidikan haruslah mengedepankan dan mementingkan aspek-aspek kemanusiaan. Istilah pendidikan, dalam bahasa Inggris disebut dengan Education adalah berasal dari bahasa latin Educere berarti memasukkan sesuatu, barangkali bermaksud memasukkan ilmu ke kepala seseorang. Dalam bahasa Arab beberapa istilah yang biasa dipergunakan dalam pengertian pendidikan. Biasa dipergunakan dengan kata ta’lim. Juga kata tarbiyah dipergunakan untuk pendidikan, seperti firman Allah dalam surat al-Isra’ ayat 24. Disamping itu kata ta’dib dipergunakan dalam istilah pendidikan, seperti disebutkan dalam hadits Rasulullah saw, yang berbunyi “Allah mendidikku, maka Ia sempurnakan pendidikan”.
Sampai disini, barangkali dapat dipahami bahwa pendidikan Islam haruslah mengutamakan aspek-aspek manusiawi, karena hal itu merupakan tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri, yaitu menjadikan manusia bahagia di dunia dan di akherat. Dengan pendidikan manusia bisa menghargai dan memahami manusia lainnya sehingga terciptalah kondisi dimana dengan pendidikan manusia bisa memanusiakan manusia lainnya.

B. Orientasi Pendidikan Islam
Beberapa pengamat pendidikan Islam mengatakan bahwa rumusan tujuan pendidikan Islam lebih pada upaya kebahagian di dunia dan diakherat, menghamba diri kepada Allah, memperkuat keislaman, melayani kepentingan masyarakat Islam, dan akhlak mulia. Sehingga terkesan bahwa tekanan utama dari tujuan pendidikan Islam adalah pada usaha membimbing kearah kepribadian muslim, yaitu manusia yang berilmu, beriman, beramal shalih, manusia yang berfikir, bersikap, bertindak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang lebih bersifat metafisik.
Dengan kerangka ini, dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan Islam bukan seharusnya “bagaimana membuat manusia sibuk mengurus dan memuliakan Tuhan saja dan justru melupakan kepekaannya terhadap kemanusiaan”, tetapi sesungguhnya tujuan pendidikan Islam adalah “memuliakan dengan sibuk memuliakan manusai dan dunianya” serta memuliakan dan memperdayakan manusia dengan segala potensi yang dimilikinya.
Tujuan pendidikan Islam yang ada sekarang ini, dirasakan tidaklah benar-benar kearah tujuan positif, tetapi tujuan pendidikan Islam hanya diorientasikan kepada kehidupan akherat semata dan cenderung bersifat difensif, yaitu supaya menyelamatkan kaum muslimin dari pencemaran dan pengrusakan yang ditimbulkan oleh dampak gagasan Barat yang datang melalui berbagai disiplin ilmu, terutama gagasan-gagasan yang mengancam akan meledakkan standar-standar moralitas tradisional Islam. Implikasinya, rumusan tujuan pendidikan Islam bertujuan untuk meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengalaman peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia yang muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt. Serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Terlihat bahwa rumusannya lebih bersifat normatif dan tidak bersifat problematik.
Dalam pelaksanaan pendidikan Islam, apabila dicermati sebenarnya, seluruh model pendidikan Islam, baik itu pesantren, sekolah Islam dan pendidikan agama Islam di sekolah umum, tujuan utama membentuk pribadi muslim yang bertakwa, berakhlak mulia, cerdas, terampil, dan memiliki etos kerja yang tinggi untuk bekerja di masyarakat. Tujuan ini berlaku bagi semua tingkat dan jenjang pendidikan Islam. Tetapi ironisnya, hinggga kini belum ada sistem evaluasi yang dapat dijadikan ukuran apakah ketakwaan, kepribadian muslim, dan akhlak mulia telah dicapai. Evaluasi tujuan metafisik ini seperti model evaluasi lainnya yaitu terfokus pada “kemampuan kognisi” peserta didik atas ilmu-ilmu agama tanpa teori yang dapat menjelaskan hubungan antara penguasaan ilmu agama dengan kepribadian muslim, ketakwaan, dan akhlak mulia.
Ada beberapa pendapat beberapa tokoh pendidikan Islam yang senada dengan ungkapan diatas mengenai defenisi pendidikan Islam, diantaranya adalah :
a) Muhammad Fadlil al-Jamali. Pendidikan Islam adalah proses yang mengarahakan manusia kepada kehidupan yang mengangkat derajat kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar (fithrah) dan kemampuan ajarnya.
b) Omar Mohammad al-Toumy. Pendidikan Islam adalah usaha mengubah tingkah laku dalam kehidupan, baik individu maupun bermasyarakat serta berinteraksi dengan alam sekitar melalui proses kependidikan berlandaskan nilai Islam.
c) Muhammad Munir Mursyi. Pendidikan Islam adalah pendidikan fitrah manusia, karena Islam adalah agama fitrah, maka segala perintah, larangan dan kepatuhannya dapatmengantarkanmengetahuifitrahini.
d) Hasan Langgulung. Pendidikan Islam adalah suatu proses spiritual, akhlak, intelektual dan sosial yang berusaha membimbing manusia dan memberinya nilai-nlai, prinsip-prinsip dan teladan ideal dalam kehidupan yang bertujuan mempersiapkan kehidupan dunia akherat.
Dengan demikian, “pendidikan Islam” adalah segala upaya atau proses pendidikan yang dilakukan untuk membimbing tingkah laku manusia baik individu maupun sosial, untuk mengarahkan potensi baik potensi dasar (fithrah) maupun ajar yang sesuai dengan fithrahnya melalui proses intelektual dan spiritual berlandaskan nilai Islam untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akherat.
Menurut hemat penulis, bahwa tujuan dari pendidikan Islam belumlah tercapai secara menyeluruh, karena proses yang diolah dalam proses pembelajarannya hanyalah aspek kognisi saja, bagaimana manusia itu selamat dari pengaruh-pengaruh yang tidak sesuai dengan konteks agama, sehingga terkesan terlalu egoistis. Mengapa egosistis, karena upaya untuk menjadikan manusia memiliki keimanan dan akhlak mulia tidaklah cukup untuk menghadapi problematika dan banyaknya tantangan yang akan dihadapi manusia, jika bekal tersebut tidak di barengi dengan aspek-aspek lain seperti karya dan terampil “psikomotoriknya”. Bahwa pendidikan Islam hendaknya tidaklah hanya menekankan kepada aspek theosentris saja tetapi aspek anthroposentris sebagai realitas yang harus dihadapi dalam keberlangsungan dari proses pendidikan yang pasti akan ditemui.

C. Paradigma Pendidikan Islam Humanis
Semangat penalaran dalam intelektualisme Islam masa lalu kini telah digantikan dengan tradisi mengekor (taqlid,). Bukti dari fenomena ini adalah jarangnya penemuan-penemuan baru selama kurun ini dari lintas disiplin keilmuan, meski banyak pemikir-pemikir yang lahir, paling banter karya yang muncul adalah karya lanjutan tokoh-tokoh terdahulu, tidak ada yang benar-benar baru. Disisi lain dekadensi moral yang begitu cepat bergeser akibat pengaruh dari globalisai. Hal ini diperparah dengan peta politik dunia yang dimotori Barat yang berideologi sekuler melalui institusi-institusi modern yang masuk ke dunia Islam. Sebab internal inilah yang membuat Abdul Hamid Abu Sulaiman dalam Jurnal ‘Islamization of Knowledge with special Reference of Political Science’ (1985), berkomentar bahwa krisis multidimensi yang dialami umat Islam karena disebabkan beberapa hal antara lain; kemunduran umat (the backwardness of the ummah), kelemahan umat (the weakness of the ummah), stagnasi pemikiran umat (the intelectual stagnation of the ummah), absennya ijtihad umat (the absence of ijtihad in the ummah), absennya kemajuan kultural ummat (the absence of cultural progress in the ummah), tercerabutnya umat dari norma-norma dasar peradaban Islam (the ummah losing touch with the basic norm of islamic civilization).
Menurut Ali Ashraf, model pendidikan dengan tekanan pada transfer ilmu dan keahlian daripada pembangunan moralitas akan memunculkan sikap individualistis, skeptis, enggan menerima hal-hal non-observasional dan sikap menjauhi nilai-nilai Ilahiyah yang bernuansa kemanusiaan. Akibat lebih jauh, model pendidikan ini akan menghasilkan manusia mekanistik yang mengabaikan penghargaan kemanusiaan yang jauh dari nilai imajinatif, kreatif dan kultural. Kenyataan inilah yang menyebabkan kearifan, kecerdasan spiritual, kesadaran manusia terhadap makna hidup, lingkungan sosial dan alamnya menjadi gagal tumbuh dan akhirnya akan mati dan menciptakan ketegangan kemanusian seperti demen konflik dan perang, krisis nilai etis, dislokasi, alienasi, kekosongan nilai rohaniah dan sebagainya. Untuk itu, pendidikan Islam harus mampu mengantarkan manusia menuju kesempurnaan dan kelengkapan nilai kemanusiaan dalam arti yang sesungguhnya sebagai suatu sistem pemanusiawian manusia yang unik, mandiri dan kreatif sebagaimana fungsi diturunkannya al Qurán sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelas bagi petunjuk itu serta pembeda antara yang benar dan yang salah (Q.S. al-Baqarah/2 : 185). Al Hasil, Al-Qur'an berperan dalam meluruskan kegagalan sistem pendidikan yang terjebak pada proses dehumanisasi.
Pendidikan Islam itu berlangsung selama hidup, maka tujuan umum akhirnya terdapat pada waktu hidup di dunia ini telah berakhir pula. Artinya pendidikan Islam mampu memberikan keselamatan dunia akhirat.
Tujuan akhir pendidikan Islam itu dapat dipahami dalam firman Allah dalam surah Ali Imran (102) yang berbunyi:
يَاأَيُّهاَ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ {102}
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.
Dari ayat di atas dapat dipahami tujuan umum dari pendidikan Islam adalah mati dalam keadaan berserah diri kepada Allah sebagai muslim yang merupakan ujung dari takwa sebagai proses akhir dari proses pendidikan itu sendiri.
Hal ini meniscayakan adanya kebebasan gerak bagi setiap elemen dalam dunia pendidikan -terutama peserta didik- untuk mengembangkan diri dan potensi yang dimilikinya secara maksimal. Pada masa kejayaan Islam, pendidikan telah mampu menjalankan perannya sebagai wadah pemberdayaan peserta didik, namun seiring dengan kemunduran dunia Islam, dunia pendidikan Islam pun turut mengalami kemunduran. Bahkan dalam paradigma pun terjadi pergeseran dari paradigma aktif-progresif menjadi pasif-defensif. Akibatnya, pendidikan Islam mengalami proses “isolasi diri” dan termarginalkan dari lingkungan di mana ia berada.
Dari gambaran masa kejayaan dunia pendidikan Islam di atas, terdapat beberapa hal yang dapat digunakan sebagai upaya untuk kembali membangkitkan dan menempatkan dunia pendidikan Islam pada peran yang semestinya yakni memanusiakan manusia atau humanisasi sekaligus menata ulang paradigma pendidikan Islam sehingga kembali bersifat aktif-progresif, yakni :
Pertama, menempatkan kembali seluruh aktifitas pendidikan (talab al-ilm) di bawah frame work agama. Artinya, seluruh aktifitas intelektual senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai agama Islam, di mana tujuan akhir dari seluruh aktifitas tersebut adalah upaya menegakkan agama dan mencari ridla Allah,sebagaimana firman Allah SWT; Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya al-Qur`an itulah yang hak dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus. (QS. Al-Hajj, 22: 54).
Kedua, adanya perimbangan (balancing) antara disiplin ilmu agama dan pengembangan intelektualitas dalam kurikulum pendidikan. Salah satu faktor utama dari marginalisasi dalam dunia pendidikan Islam adalah kecenderungan untuk lebih menitik beratkan pada kajian agama dan tidak memberikan porsi yang berimbang pada pengembangan ilmu non-agama, bahkan menolak kajian-kajian non-agama. Oleh karena itu, penyeimbangan antara materi agama dan non-agama dalam dunia pendidikan Islam adalah sebuah keniscayaan jika ingin dunia pendidikan Islam kembali survive di tengah masyarakat. Al-Qur`an banyak menjelaskan didalam ayat-ayat kauniahnya agar manusia memikirkan dan mengkaji alam semesta ini, bagaimana langit ditinggikan, bumi dihamparkan, gunung-gunung ditegakkan, manusia diciptakan dan lain sebagainya. Hal ini mengindikasikan agar umat Islam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, tidak dibatasi hanya mempelajari ilmu-ilmu agama. Dan Nabi Muhammad pun memerintahkan para sahabat untuk menuntut ilmu ke negeri China. Hal ini sebagai dasar perintah dari Nabi agar umat Islam mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan umum, karena China dikenal pada saat itu sebagai negeri yang memiliki para ahli pengobatan atau tabib.
Ketiga, perlu diberikan kebebasan kepada civitas akademika untuk melakukan pengembangan keilmuan secara maksimal karena selama masa kemunduran Islam, tercipta banyak sekat dan wilayah terlarang bagi perdebatan dan perbedaan pendapat yang mengakibatkan sempitnya wilayah pengembangan intelektual. Kalaulah tidak menghilangkan, minimal membuka kembali, sekat dan wilayah-wilayah yang selama ini terlarang bagi perdebatan, maka wilayah pengembangan intelektual akan semakin luas yang tentunya akan membuka peluang lebih lebar bagi pengembangan keilmuan di dunia pendidikan Islam pada khususnya dan dunia Islam pada umumnya.
Keempat, mulai mencoba melaksanakan strategi pendidikan yang membumi. Artinya, strategi yang dilaksanakan disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan di mana proses pendidikan tersebut dilaksanakan. Selain itu, materi-materi yang diberikan juga disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada, setidaknya selalu ada materi yang applicable dan memiliki relasi dengan kenyataan faktual yang ada. Dengan strategi ini diharapkan pendidikan Islam akan mampu menghasilkan sumber daya yang benar-benar mampu menghadapi tantangan zaman dan peka terhadap lingkungan.
Kemudian, satu faktor lain yang akan sangat membantu adalah adanya perhatian dan dukungan para pemimpin (pemerintah) atas proses penggalian dan pembangkitan dunia pendidikan Islam ini. Adanya perhatian dan dukungan pemerintah akan mampu mempercepat penemuan kembali paradigma pendidikan Islam yang aktif-progresif, yang dengannya diharapkan dunia pendidikan Islam dapat kembali mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana pemberdayaan dan humanisasi.

BAB III
KESIMPULAN


Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Humanisasi adalah pemanusiaan/penerapan rasa perikemanusiaan. Sedangkan humanisme adalah suatu doktrin yang menekan kepentingan-kepentingan kemanusiaan dan ideal (humanisme pada zaman renaissans didasarkan atas peradaban Yunani purba, sedangkan humanisme modern menekankan manusia secara eksklusif).
2. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar danproses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinyauntuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
3. Tujuan pendidikan Islam bukan seharusnya “bagaimana membuat manusia sibuk mengurus dan memuliakan Tuhan saja dan justru melupakan kepekaannya terhadap kemanusiaan”, tetapi sesungguhnya tujuan pendidikan Islam adalah “memuliakan dengan sibuk memuliakan manusai dan dunianya” serta memuliakan dan memperdayakan manusia dengan segala potensi yang dimilikinya.
4. Upaya untuk kembali membangkitkan dan menempatkan dunia pendidikan Islam pada peran yang semestinya yakni memanusiakan manusia atau humanisasi sekaligus menata ulang paradigma pendidikan Islam sehingga kembali bersifat aktif-progresif, yakni:
a. Menempatkan kembali seluruh aktifitas pendidikan (talab al-ilm) di bawah frame work agama.
b. Adanya perimbangan (balancing) antara disiplin ilmu agama dan pengembangan intelektualitas dalam kurikulum pendidikan.
c. Perlu diberikan kebebasan kepada civitas akademika untuk melakukan pengembangan keilmuan secara maksimal karena selama masa kemunduran Islam, tercipta banyak sekat dan wilayah terlarang bagi perdebatan dan perbedaan pendapat yang mengakibatkan sempitnya wilayah pengembangan intelektual.
d. Mulai mencoba melaksanakan strategi pendidikan yang membumi. Kemudian, satu faktor lain yang akan sangat membantu adalah adanya perhatian dan dukungan para pemimpin (pemerintah) atas proses penggalian dan pembangkitan dunia pendidikan Islam ini. Adanya perhatian dan dukungan pemerintah akan mampu mempercepat penemuan kembali paradigma pendidikan Islam yang aktif-progresif, yang dengannya diharapkan dunia pendidikan Islam dapat kembali mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana pemberdayaan dan humanisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Afdholia, Syika. Humanisme Pendidikan Islam, Di Download 21 Mei 2010. dari http://syikascience.blogspot.com/2009/01/humanisasi-pendidikan-islam.html.

Agil Husin Al Munawar, Said. Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani dalam Sistem Pendidikan Islam. Cet. II; Ciputat: Ciputat Press.2005.

Daradjat, Zakiah dkk.,Ilmu Pendidikan Islam. Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

http://id.cosmotopic.com/6631002136-pengertian-pendidikan-islam, diunduh pada tanggal 28 April 2010.

Latif, Abdul. dkk. Jangan Abaikan Pendidikan. Cet. I; Jakarta: LPP PP IPNU. 2009.
Kompas, Edisi 16 Mei 2005.
Quraish, Shihab, M. Wawasan Al-qur’an Tafsir maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat . Cet. XVIII; Bandung: Mizan. 2007.

Suparlan, Dehumanisasi Pendidikan?, Di Download 21 Mei 2010, dari http://www.suparlan.com/pages/posts/dehumanisasi-pendidikan42.php.

Saleh, Taufikurrahman. Membangun Pendidikan Indonesia: Reformasi Pendidikan Menuju Masyarakat Berbasis Ilmu Pengetahuan. Cet I; Jakarta: LPP PP IPNU. 2009.
UU Sisdiknas 2003 (UU RI No 20 Tahun 2003), dalam Taufikurahman Saleh, Membangun Pendidikan Indonesia; Reformasi Pendidikan Menuju Masyrakat Berbasis Ilmu Pengetahuan. Cet.I; Jakarta: LPP IPNU. 2009.

Rabu, 19 Mei 2010

SEJARAH IPNU

Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) adalah organisasi kader yang lahir atas tuntutan sejarah. Ia merupakan bagian integral dari potensi generasi muda Indonesia yang menitikberatkan bidang garapannya pada pembinan dan pengembangan pelajar dan santri. Dua segmen tersebut merupakan pilar utama keberadaan IPNU yang harus terus dikembangkan secara dinamis, sesuai dengan tuntutan perkembangan dan kebutuhan masyarakat.
IPNU lahir atas tuntutan kebutuhan untuk menghimpun pelajar NU. Kebutuhan akan wadah bagi pelajar NU tersebut sebenarnya sudah sejak lama dirasakan mendesak. Hal ini sangat disadari oleh para pelajar pada saat itu, sehingga secara lokalistik banyak berdiri perkumpulan pelajar yang berafiliasi kepada Nahdlatul Ulama. Di antara organisasi pelajar itu adalah Tsamaratul Mustafidin yang terbentuk pada tanggal 11 Oktober 1936 di Surabaya, Persatuan Anak-anak Nahdlatul Oelama (PERSANO), Persatuan Anak Moerid Nahdlatul Oelama (PAMNO) tahun 1941; Ikatan Moerid Nahdlatul Oelama (IMNO) pada tahun 1945, Ijtimauttholabah Nahdlatul Oelama (ITNO) pada tahun 1946, Subbanul Muslimin yang berdiri di Madura, serta masih banyak lagi.
Karena keterbatasan yang masih sangat lokalistik tersebut, maka akan sangat sulit dicaqpai penggalangan pelajar NU secara nasional. Sebab dengan adanya perkumpulan-perkumpulan itu masih banyak terjadi kesenjangan antara mereka yang berasal dari pesantren, madrasah, dan sekolah umum, sehingga banyak mengalami kesulitan. Di samping bersifat kedaerahan, gerakan yang dilakukan oleh organisasi-organisasi tersebut tidak koordinatif. Akibatnya tujuan gerakan yang dilakukan tidak tercapai secara optimal.
Gerakan-gerakan organisasi pelajar ini baru terlihat menggeliat pada tahun 50-an dengan berdirinya beberapa organisasi pelajar lain, seperti Ikatan Siswa Muballighin Nahdlatul Oelama (IKSIMNO) pada tahun 1952 di Semarang, Persatuan Pelajar Nahdlatul Oelama (PERPENO) di Kediri, Ikatan Pelajar Islam Nahdlatul Oelama (IPINO), Ikatan Pelajar Nahdlatul Oelama (IPNO) di Surakarta dan lain sebagainya.
Ikhtiar untuk terbentuknya organisasi pelajar NU pada level nasional terus dilaksanakan. Baru pada acara Konferensi Besar Ma’arif Nahdlatul Ulama seluruh Indonesia di Semarang, IPNU resmi diproklamasikan sebagai organisasi yang mewadahi pelajar Nahdlatul Ulama. Proklamasi berdirinya Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) itu tepatnya dilaksanakan pada tanggal 24 Februari 1954, bertepatan dengan 20 Jumadil Akhir 1373. Pendirian organisasi itu dipelopori oleh para pelajar yang datang dari Yogyakarta, Semarang, dan Surakarta seperti; M. Sofyan, Cholil Mustahal, Achmad Masjhub, dan A. Gani Farida M. Uda. Dalam konferensi tersebut disamping menyepakati berdirinya organisasi, juga ditetapkan Ketua Umum Pimpinan Pusat. Terpilih sebagai Ketua Umum adalah Muchamad Tholchah Mansur.
Setahun setelah berdirinya IPNU, tepatnya pada tanggal 2 Maret 1955, berdiri Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU). Sebagai wadah berhimpun pelajar putri NU, sebab IPNU hanya beranggotakan pelajar putra. Proklamasi IPPNU itu dilaksanakan pada muktamar pertama IPNU di Surakarta.

Minggu, 16 Mei 2010

Wajah Pendidikan di Indonesia

Oleh: Andy

“ ilmu pendidikan di Indonesia mengalami krisis identitas karena lonceng kematiannya telah berdentang”Mochtar Buchari
“ ilmu pendidikan di Indonesia dalam kondisi hidup enggan mati tak mau “
H.A.R. Tilaar
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Pendidikan di Indonesia bila kita gambarkan maka terlintas dalam benak kita gambar yang kusut. Kondisi semacam itu, disebabkan, antara lain, oleh politisasi praksis pendidikan di Indonesia selama Orde Baru, merupakan warisan “leluhur sejarah”, semntara lembaga pendidikan tinggi yang seharusnya bertugas mengkaji secara ilmiah konsep-konsep pendidikan telah beralih pada deskripsi yang trival tentang praktik-praktik pendidikan. Wajarlah kemudian ada suara yang mengatakan bahwa pendidikan kita dalam keadaan mati suri.
Hal ini, kita harus akui bila melihat realitas yang terjadi dalam pendidikan di Indonesia. Kita masih teringat “fatwa” Mahkamah Agung mengenai UNAS, “bahwa UNAS tetap dilaksanakan jika sistemya ikut diperbaiki (dalam hal ini sistem pendidkan yang dimaksud adalah kualitas guru, kurikulum, dan pemenuhan sarana dan prasarana). Tetapi apa yang terjadi keputusan Mendiknas tetap pada pendiriannya yakni tetap melaksanakan UNAS. Sangat Ironis memang, bila kita mendengar pengakuan Mendiknas sendiri bahwa dalam pendidikan kita belum sepenuhnya terpenuhi sarana dan prasarana. Tapi mengapa ujian Negara tetap dilakasanakan. Sebenarnya ada apa dibalik ujian Negara?.
Tulisan ini, hendak mengkaji masalah pantaskah UNAS dipertahankan melalui dua sudut pandang, yakni dari sudut pandang pendidikan dan poltik.
1. Sebuah tes yang dapat dikatakan baik sebagai alat pengukur harus memenuhi persyaratan tes, yaitu memiliki: pertama, validitas. Artinya sebuah tes dikatakan valid apabila tes tersebut mengukur apa yang hendak diukur. Dalam bahasa Indonesia “valid” disebut dengan istilah “shahih”. Sebenarnya yang menjadi penekanan dalam pembicaraan validitas ini bukan ditekankan pada tes itu sendiri tetapi pada hasil pengetesan atau skornya. Kita bisa melihat betapa skor yang didapat oleh anak didik sangatlah minim (tidak lulus) kalau kita nilai secara objektif. Tetapi kita melihat tiap tahunnya yang terjadi adalah bukanlah peserta didik yang ujian, tetapi yang melaksanakan ujian adalah para pendidik.
Kedua, Reliabilitas, artinya dapat dipercaya. Tes tersebut dikatakan dapat dipercaya jika memberikan hasil yang tetap apabila diteskan berkali-kali. Sehingga dengan kata lain realibitas adalah ketetapan sedangkan validitas adalah ketepatan. Muncul sebuah pertanyaan mengenai UNAS, apakah UNAS mempunyai ketetapan terhadapa siswa, artinya apakah tes yang sama pada waktu yang berlainan, akan menghasilkan nilai yang sama (rangking yang sama), tetapi malah sebaliknya yang terjadi.
Ketiga, Objektivitas, berarti tidak adanya unsur pribadi yang mempengaruhi. Apakah kita dapat menjamin bahwa seluruh pelaksanaan UNAS tersebut objektif. Tetapi yang terjadi adalah nihil.
Keempat, Praktikabilitas, sebuah tes dikatakan praktikabilitas yang tinggi apabila tes tersebut bersifat praktis, mudah pengadministrasiannya. Tes dapat dikatakan praktis apabila mudah dilaksanakan, mudah pemeriksaannya dan dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk yang komprehensif. Yang menjadi perhatian penulis apakah UNAS ini mudah dilaksanakan, realitas membuktikan tiap tahun dalam tiga hari polisi, aktivis LSM, dan mahasisiwa masuk kesekolah untuk mengawasi pelaksanaan ini. Bukan hal ini membutuhkan biaya uang banyak.
Kelima, Ekonomis, bahwa pelaksanaan tes tersebut tidak membutuhkan biaya yang mahal, tenaga yang banyak, dan waktu yang lama. Akan tetapi UNAS ini melainkan hanya sebuah proyek tahunan buat para pemerintah yang sangat menjanjikan.

2. Ketika disahkannya UU No. 20 2003 Tentang Sisdiknas oleh DPR dan disetujui oleh kepala Negara, memunculkan dua pendapat, pertama, apakah dengan disahkan UU tersebut dapat mengembalikan pendidikan kita pada jalan yang sebenarnya “yang lama” mati dalam kesendiriannya. kedua, apakah UU ini lebih menitikberatka pada kepentingan penguasa pada waktu itu, yakni memenuhi “kantong-kantong” kehidupan pemerintah.
Dalam Bab IX tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 35 (1) disebutkan “Standar Nasional Pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala”. Yang menjadi pertanyaan kemudian UU diatas menginginkan standar ini ditingkatkan secara berencana dan berkala apakah sudah dilaksanakan?
Jawaban yang tetap, jangankan semuanya diterapkan, malah tidak sama sekali diterapkan. Hal ini dapat kita lihat penjelasan UU di atas: Standar isi mencakup ruang materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan ke dalam persyaratan tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepekati. Pertanyaan kemudian lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sudah diterapkan. Hal inilah yang membuat wajah pendidikan kita yang sangat brutal yang hanya menilai 3 jam dalam jangka waktu 3 hari (lebih), jika dibandingkan perjuangan pesrta didik selama 3 tahun. Hasil studi International Educational Achievement (IEA) menunjukkan, kemapuan membaca siswa SD di Indonesia berada diurutan ke-38 dari 39 negara yang masih diteliti. Sementara penelitian the Third International Mathematics and Science Study Repeat tahun 1999 menunjukkan, kemampuan peserta didik untuk tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) Indonesia di bidang Ilmu Pengetahuan Alam di urutan ke-32 dan untuk Matematika di posisi ke-34 dari 38 negara yang diteliti di seluruh dunia. Mengacu pada nilai UNAS sebagai cerminan kualitas pendidikan, terlihat nilai rata-rata nasional lulusan peserta didik tingkat SMP, yaitu 5,46 selam lima tahun terakhir. Hasil tersebut sangat tentu memprihatinkan, karena angka itu dapat dikategorikan sebagai nilai “merah”.
Rendahnya kualitas hasil pendidikan itu sangatlah berdampak pada rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia. Menurut Human Development Reports, HDR 2002 (Laporan Pembangunan Manusia 2002) yang dikeluarkan oleh Program pembangunan PBB (United Develoment Programme, UNDP) tentang Human Development Indicators 2002, Indonesia menempati peringkat 110 dari 173 negara yang diteliti dengan Human Development Index (HDI) 0.684. Posisi Indonesia itu jauh di bawah Negara anggota ASEAN, misalnya Singapura (25), Thailand (70), Malaysia (59), Brunei Darussalam (32), Vietnam (109). Kemudian pada Human Development Reports 20003, Indeks tersebut menunjukkan kemerosotan menjadi 0.682. Penurunan indeks yang mencerminkan memburuknya kualitas manusia Indonesia ini juga terlihat dari menurunnya peringkat HDI dari urutan 110 ke 112, semntara Malaysia naik ke peringkat 58 dan Vietnam masi diurutan ke 109. Apakah hal ini luput dari kacamata pemerintah, sehingga ia ingin menyamaratakan standar pendidikan secara nasional.
Standar tenaga kepedidikan mencakup persyartan pendidikan prajabatan dan kelayakan, baik fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan. Mendiknas pernah mengakui bahwa kualitas guru di Indonesia masih jauh dari kesempurnaan,. Hal ini sangatlah tumpah tindih mendiknas mengakui bahwa kualitas guru sangatlah minim akan tetapi kenapa masih standarisasi dalam pendidikan.
Standar sarana dan prasarana pendidikan mencakup ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi, dan berekreasi, dan sumber belajar lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajran, termasuk penddunaan teknologi informasi dan komunikasi.
Peningkatan secara berencana dan berkala dimaksudkan untuk meningkatkan keunggulan lokal, kepentingan nasional, keadilan, dan kompetensi antarbangsa dalam peradaban dunia. Akan tetapi yang terjadi malah pembodohan disana sini. Maka dengan sendirinya terjadi pro kontra penyelenggaraan UN, apakah mnyalahi konstitusi atau tidak sama sekali.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan atas latar belakang tersebut, maka penulis hanya membatasi pada persoalan :
1. Apa landasan hukum orang yang mendukung UN ?
2. Apa landasan hukum orang yang menolak UN ?
3. Apakah solusi yang tepat untuk menenggarai pro dan kontra atas penyelenggaraan UN ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini adalah :
1. Diharapkan pembaca mengetahui landasan hukum orang yang mendukung UN.
2. Diharapkan pembaca mengetahui landasan hukum orang yang menolak UN.
3. Diharapkan pembaca menegetahui solusi yang tepat untuk UN.




Pembahasan

A. Landasan hukum orang yang mendukung UN
Ujian Nasional merupakan salah satu kegiatan dari pelaksanaan kurikulum yang dilaksanakan pada tiap – tiap akhir tahun pelajaran yang diikuti oleh seluruh siswa yang duduk di kelas XII (dua belas) dalam rangka menyelesaikan salah satu jenjang pendidikan untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Adapun yang melatar belakangi penyusunan program kegiatan ini, antara lain :
1. Bahwa Ujian Nasional merupakan kegiatan yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dalam usaha menyukseskan program pendidikan nasional, baik secara kuantitas maupun kualitas.
2. Bahwa hasil Ujian Nasional dapat digunakan untuk pembinaan pendidikan , terutama fasilitas dan proses belajar mengajar ( PBM ) di kelas.
3. Bahwa nilai yang dicapai dalam Ujian Nasional dapat digunakan untuk menentukan peringkat seleksi penerimaan siswa baru ke jenjang yang lebih tinggi.
4. Bahwa Ujian Nasional merupakan komponen penentu para siswa untuk penentuan nilai IJAZAH ( Surat Tanda Kelulusan ).
Dasar dan Landasan Hukum Ujian Nasional Penyusunan program kerja kegiatan Ujian Nasional ini didasari atas :
1. Keputusan Badan Standar Nasional Pendidikan Nomor 1512/BSNP/XII/2008 tentang Prosedur Operasi Standar (POS) Ujian Nasional SMA Tahun Pelajaran 2008/2009.
2. Undang-Undang Nomor 20Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
3. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 77 tanggan 5 Desember 2008 Tentang Ujian Nasional Untuk SMA Tahun Pelajaran 2008/2009.
Maksud dan Tujuan Ujian Nasional
Sebagaimana tujuan Ujian Nasional Yang tercantum dalam buku petunjuk pelaksanaan Ujian Nasional departemen Pendidikan Nasional, maka maksud dan tujuannya, adalah :
1. Merintis tercapainya standar nasional bagi mutu pendidikan dasar dan menengah.
2. menyederhanakan prosedur penerimaan siswa baru pada sekolah yang lebih tinggi.
3. mempercepat peningkatan pemerataan mutu pendidikan Dasar dan Menengah.
4. tercapainya tujuan kurikuler.
5. mendorong agar proses belajar mengajar dilaksanakan berdasarkan kurikulum, buku dan alat peraga praktek yang telah ditentukan.
Berdasarkan tujuan tersebut di atas, maka penyusunan program kegiatan Ujian Nasional dimaksudkan agar dapat memberikan acuan dan arahan dalam melaskanakan kegiatan Ujian Nasional di sekolah dengan tujuan agar dapat berjalan dengan tertib serta sesuai dengan ketentuan yang berlaku, serta hasil yang dicapai tahun ini akan lebih baik dari tahun sebelumnya.
Di samping tujuan tersebut di atas, Ujian Nasional bertujuan pula:
1. Mengetahui sejauh mana hasil yang telah dicapai selama satu tahun pelajaran.
2. untuk menentukan standarisasi mutu pendidikan dalam melaksanakan proses belajar mengajar di masa yang akan datang.
3. dengan adanya standarisasi mutu pendidikan yang telah diketahui, melalui Ujian Nasional dapat dijadikan tolak ukur untuk meningkatkan mutu sekolah khususnya dam mutu pendidikan pada umumnya.
4. untuk menilai kegiatan belajar mengajar ( PBM ) mana yang perlu mendapat perhatian sehingga mutu pendidikan secara nasional dapat tercapai dengan baik dan sempurna.
Adapun sasaran ujian nasional berdasarkan tujuan Ujian Nasional tersebut di atas, maka sasaran yang hendak dicapai, antara lain :
Bidang Penyusunan Program Kerja :
1. Agar semua kegiatan Ujian Nasional dapat dilaksanakn dengan baik dan lancar.
2. Agar setiap guru / personal yang ada di sekolah dapat mengetahui dan melaksanakan tugas sesuai dengan fungsinya masing-masing.
3. Agar setiap guru / personal tidak saling mengandalkan dalam melaksanakan tugasnya.
Bidang Pelaksanaan
1. Ikut membantu tercapainya tujuan pembangunan nasional khususnya dalam bidang pendidikan.
2. Tercapainya tujuan Ujian Nasional sebagaimana tercantum dalam buku pedoman pelaksanaan Ujian Nasional .
3. Agar tercapai hasil optimal, baik dari segi pelaksanaan maupun hasil yang dicapai oleh para siswa.
4. Mendapatkan standardisasi mutu
5. Meningkatkan mutu sekolah, sekaligus pendidikan pada umumnya.
6. Mendapatkan bahan masukan demi kesempurnaan dan meningkatnya mutu pendidikan yang akan datang.


B. Landasan hukum orang yang menolak UN
Ujian nasional bukanlah hal yang baru. Sejak 1945-1971 kita sudah melakukan Ujian Negara. Ujian sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah baik penyiapan bahan, pelaksanaan, maupun penetapan kelulusan. Dampaknya, kelulusan rendah, banyak kritik masyarakat, tidak ada seleksi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, mutu lulusan tinggi. Sistem ini lantas diperbaiki dengan Ujian Sekolah 1971-1983; Ujian sepenuhnya dilakukan oleh sekolah baik penyiapan bahan, pelaksanaan, maupun penetapan kelulusan. Tidak ada batas lulus; dampaknya kelulusan hampir 100 persen, masih diperlukan seleksi lagi ke jenjang lebih tinggi, mutu rendah, banyak kritik masyarakat. Sistem ini akhirnya diperbaiki dengan Ebtanas (1983-2002).
Dalam sistem ini dikenal kombinasi PQR, di mana nilai akhir atau kelulusan adalah P (nilai semester satu) + Q ( nilai semester dua) + 3R (nilai ebtanas murni). Hasilnya banyak terjadi mark up nilai P dan Q oleh guru atas restu kepala sekolah dan kepala dinas pendidikan. Semua peserta lulus, anak rajin atau anak malas, anak pandai atau anak bodoh semuanya lulus.
Pada saat itu, benar-benar tidak ada penjaminan mutu, bahkan kewibawaan pendidikan di titik nadir demikian pula kewibawaan guru. Quality control dan quality assurance tidak ada. Efek negatif Ebtanas adalah tidak memotivasi siswa belajar lebih giat dan prestatif; tidak memotivasi guru untuk mengajar dan mendidik dengan lebih bersungguh-sungguh, tidak menumbuhkan budaya mutu dan tradisi berkompetisi untuk mencapai keunggulan bangsa, memberikan pendidikan yang semu.
Penolakan UN bukan semata-mata soal landasan yuridis yang salah satu pasalnya menyebut kewenangan meluluskan siswa ada pada guru. Alasan empiris yang kasat mata sejatinya adalah masih lemahnya kesiapan sekolah dan kesiapan guru untuk bekerja lebih bermutu. Artinya standar performance guru memang masih jauh dari mutu yang syaratkan untuk bisa meluluskan murid dengan standar kelulusan sesuai standar UN. Lihat saja kinerja mereka para guru yang sudah lulus sertifikasi juga masih jauh panggang dari api.
Rendahnya kinerja guru tidak lepas dari penyiapan guru saat masih di LPTK ada guru-guru yang direkrut dari LPTK beneran dan ada juga guru yang direkrut dari LPTK abal-abal yang proses perkualiahannya tanpa ada kontrol mutu. Rekrutmen guru kita juga kental nuansa politik ketimbang nuansa akademik. Lihat demo para guru bantu, guru honorer untuk menjadi CPNS adalah indikasi rekrutmen guru bukan berbasis pertimbangan akademis melainkan lebih dilandasi kebijakan politik.
Celakanya, mereka ini lebih asyik menuntut hak-haknya sebagai PNS ketimbang sadar diri atas kewajibannya sebagai guru profesional untuk terus bergulat meningkatkan kemampuan profesionalnya. Kecurangan dalam sertifikasi, manipulasi dalam pengumpulan angka kredit untuk kenaikan pangkat adalah jalan pintas yang dilakukan guru untuk mendapat hak kesejehteraannya. Akankah mereka bisa dituntut untuk mengajar lebih bermutu? Di tangan guru-guru yang rendah komitmen moralnya, rendah tanggung jawab profesionalnya maka UN menjadi momok yang harus ditolak.
Di samping rendah kinerja profesional guru, sisi lain yang menjadi penyebab rendahnya mutu pendidikan di sekolah adalah manajemen sekolah. Umumnya, manajemen sekolah masih belum melakukan model penjaminan mutu yang kokoh dan terukur; dalam kondisi guru yang tidak siap dan kinerjanya masih rendah ditambah dengan manajemen sekolah yang belum nenerapkan sistem penjaminan mutu berkelanjutan maka penolakan UN adalah jalan pintas yang bisa dirasionalisasikan dengan dalih apa pun apalagi sekarang ada putusan MA yang bisa melegitimasi penolakan itu. Menyerahkan kembali standar kelulusan kepada guru jelas bukan hal yang bijak jika kita melihat sejarah manipulasi nilai P dan Q oleh para guru di era Ebtanas.
Padahal dari sisi yuridis penyelenggaraan UN sebagai salah satu upaya peningkatan mutu pendidikan sudah cukup kuat. UU Sistem Pendidikan Nasional; Pasal 11: Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan bermutu bagi masyarakat tanpa diskriminasi; Pasal 35: Ada 8 Standar Nasional Pendidikan, dua di antaranya: Standar Kompetensi Lulusan; dan Standar Penilaian Pendidikan. Pasal 58 Ayat (1): Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan (Internal Evaluation); Pasal 58 Ayat (2): Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik, untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan (External Evaluation).
PP tentang Standar Nasional Pendidikan; Pasal 63; Ayat (1): Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: a. Penilaian oleh pendidik; b. Penilaian oleh satuan pendidikan; dan c. Penilaian oleh Pemerintah. Pasal 66 Ayat (1): Penilaian hasil belajar oleh Pemerintah bertujuan untuk menilai pencapaian standar kompetensi lulusaan secara nasional dilakukan dalam bentuk ujian nasional. Dari perspektif di atas UN masih layak dilanjutkan dengan berbagai perbaikan teknis, di sisi lain dibarengi dengan peningkatan mutu kinerja guru dan manajemen sekolah yang berbasis peningkatan mutu berkelanjutan.
Perbaikan mutu kinerja guru dan manajemen sekolah merukan dua ujung tombak peningkatan mutu pendidikan yang mendesak harus dilakukan. Berbagai kekurangan fasilitas dan sarana prasarana sejatinya bisa diatasi dengan manajemen sekolah yang baik ditambah dukungan dana investasi dan dana pengembangan pendidikan dari pemerintah pusat.


Penjaminan Mutu Pendidikan
Upaya pemerintah untuk terus meningkatkan mutu pendidikan semakin serius dan tidak bisa ditawar lagi dengan diterbitkannya Permendiknas No 63 Tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan. Permendiknas No 63 Tahun 2009 memberikan arahan yang jelas tentang penjaminan mutu pendidikan. Ada dua hal utama yang harus dilakukan untuk penjaminan mutu pendidikan yakni pertama, melakukan Evaluasi Diri Sekolah (EDS), kedua; melakukan Monitoring Sekolah Oleh Pemerintah Daerah (MSPD).
Evaluasi Diri Sekolah (EDS) untuk melakukan pemetaan mutu sekolah oleh pihak sekolah sendiri secara jujur dan transparan sehingga dapat ditemukan akar permasalahan yang dihadapi dalam penjaminan mutu pendidikan, selanjutnya bisa dirumuskan rekomendasi atau langkah nyata dalam penjaminan mutu pendidikan. Evaluasi Diri Sekolah merupakan langkah proaktif untuk mengeliminasi ketidakjujuran sekolah dalam menempuh evaluasi yang dilakukan oleh Badan Akreditasi Sekolah. Bukan rahasia lagi bahwa banyak sekolah melakukan manipulasi data dan fakta saat menghadapi tim asesor badan akreditasi sekolah. Melalui EDS hal tersebut tidak perlu dilakukan lagi.
Adapun Monitoring Sekolah oleh Pemerintah Daerah (MSPD) merupakan perwujudan dari pertanggungjawaban pemerintah daerah yang memiliki kewenangan dalam bidang pendidikan sesuai dengan UU Otonomi Daerah sehingga pemerintah daerah dituntut mampu melakukan monitoring yang terkait dengan penjaminan mutu sekolah. Patut dicatat saat ini masih banyak pemkab/pemkot yang tidak memiliki sistem baku tentang penjaminan mutu pendidikan yang menjadi kewenangannya.
Untuk bisa melakukan penjaminan mutu pendidikan yang berkelanjutan pemerintah telah menugaskan kepada Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) di 30 provinsi untuk mendampingi dan memfasilitasi sekolah dan pemerintah kebupaten/kota dalam melaksanakan penjaminan mutu di sekolah. LPMP dibekali dengan berbagai kemampuan teknis operasional dann kerangka konseptual dalam penjaminan mutu pendidikan.
Dimulai dari pemetaan kualitas pembelajaran di sekolah, kualitas kepemimpinan kepala sekolah dan pengawas sekolah sampai pada penningkatan kemampuan guru dalam menyusun karya ilmiah, penelitian tindakan kelas, penelitian tindakan sekolah. Semuanya sudah disiapkan di LPMP yang menjadi persoalan adalah apakah para bupati/wali kota, DPRD kepala dinas pendidikan kabupaten/kota memiliki good will dan political will untuk meningkatkan mutu pendidikan di daerahnya. (76)

Berbicara pelaksanaan UN di Indonesia masih terdapat kontroversi dikalangan ahli, sehingga terjadi tarik menarik antar yang pro dan kontra. Desakan terhadap pemerintah untuk mmbatalkan penyelenggaraan UN, banyak aksi yang dilakukan oleh organisasi kepelajaran, mengingat pemerintah mematuhi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diperkuat dengan Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Mahkamah Agung RI tentang ujian nasional (UN) kembali bergulir.
Di atas merupakan hukum yang telah ditetapkan atas gugatan para guru-guru. Perlu kiranya dipaparkan landasan hukum penolakan UN berdasarkan pada beberapa aspek, yaitu pertama, UN Boroskan Anggaran Negara, kedua Pada dasarnya UN memang diperlukan oleh sebuah negara karena merupakan tolok ukur bagi keluaran proses pendidikan nasional. Namun demikian, diperlukan prasyarat dasar sebelum UN dilaksanakan, yakni pemenuhan terhadap standar proses pendidikan, seperti sarana prasarana pendidikan yang memadai, distribusi dan kualitas guru, kurikulum, dan lainnya. Ketiga, Standar proses pendidikan itu terkait dengan pemenuhan hak-hak dasar warga untuk mendapatkan pelayanan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau. Selama ini penerapan UN dipukul rata tanpa mempertimbangkan kondisi dari infrastruktur dasar pendidikan.

C. solusi yang tepat untuk menenggarai pro dan kontra atas penyelenggaraan UN
Negaramanapun tentunya sangat membutuhkan informasi yang berkenaan dengan sejauh mana sistem yang telah didesain selama ini mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Dari informasi yang diperoleh tersebut kemudian dapat dijadikan sebagai acuan untuk memperbaiki kinerja sistem itu sendiri dimasa yang akan datang. Dalam dunia pendidikan, kerangka sederhana inilah yang kira-kira menjadi landasan bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia dalam menyelenggarakan evaluasi sistemik dalam pendidikannya. Sebut saja evaluasi sistemik tersebut saat ini yang lagi trend dan hangat diperdebatkan dinegara kita adalah penyelenggaraan Ujian Nasional. Ujian Nasional yang sejak awal kemunculannya mendapatkan berbagai reaksi yang beragam dari berbagai lapisan masyarakat Indonesia, “ada” kelompok yang pro dan tidak sedikit pula kelompok yang “kontra” terhadap kebijkan tersebut. Ujian Nasional ditentang oleh sebagian besar masyarakat disebabkan karena pertama digunakannya standar tunggal untuk dalam mengevaluasi siswa seluruh Indonesia. Masyarakat menilai, azas keadilan dan pemerataan yang menjadi semangat penyelenggaraan sistem pendidikan nasional kita tidak tercermin dalam penyelenggaraan UN, ketika acuan penilaian yang digunakan tidak memperhatikan dinamika dan perbedaan kemampuan ditingkat daerah. Keadaan ini juga “kontraproduktif” dengan semangat kurikulum yang mencoba membangun dan menyemaikan budaya kontruktifistik dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, peningkatan ambang batas kelulusan UN setiap tahun belum diimbangi dengan perbaikan infrastruktur pendidikan dan kualitas pembelajaran. Terjadi lompatan logika yang tidak dapat diterima oleh masyarakat, bagaimana ingin menyamakan evaluasi sementara terdapat disparitas yang menganga berkenaan dengan proses pembelajaran antara jawa dan luar jawa. Diakui atau tidak, jawa lebih unggul dalam hal kecepatan mengekses informasi dibandingkan daerah luar jawa, sebab berbagai fasilitas yang menunjang kearah tersebut telah memadai sedangkan daerah luar jawa masih “jauh panggang dari api”. Kondisi ini setidaknya akan mempengaruhi kelancaran proses pembelajaran pada tiap sekolah. Bahkan, semangat “program internet” masuk sekolah baru dicanangkan beberapa waktu yang lalu sebagai bagian dari program seratus hari Departemen Pendidikan Nasional. Sebagai perbandingan dengan program negeri jiran, Kementerian Malaysia telah cukup lama mengembangkan apa yang disebut sebagai sekolah pintar (smart school) sebagai bagian dari proyek raksana yang dikenal dengan Multimedia Super Corridor (MSC). Sejak tahun anggaran 1997, Malaysia telah mengembangkan 31 sekolah menengah sebagai sekolah pintar. Empat mata pelajaran pokok di Malaysia, yaitu (1) Bahasa Malaysia, (2) Bahasa Inggris, (3) Sains, dan (4) Matematik (kita menggunakan istilah Matematika) telah disusun dalam bentuk CD, sehingga proses pembelajarannya menggunakan komputer. Lagi-lagi, fasiltias ruang kelas di sekolah ini tidak lagi ada meja kursi yang diatur berderet-deret seperti kelas model lama, tetapi kelas model baru lengkap dengan komputer untuk setiap siswa. Kalau demikian, program penyediaan internet secara massal dalam hal ini memang terasa sudah terlambat dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Malaysia. Oleh karena demikian, sepatutnya pemerintah mempertimbangkan faktor ini dalam penyelenggaraan UN.
Katiga, penyusunan butir-butir soal Ujian Nasional dilakukan secara sentralistik. Kondisi ini sangat bertentangan dengan semangat “desentralisasi” dibidang pendidikan yang selama ini telah disemaikan. Implikasinya kemudian, banyak anak yang tidak mampu menjawab soal-soal Ujian Nasional. Hal ini dimungkinkan terjadi karena meski kurikulum sama, namun masing-masing guru sebagai kreator pembelajaran dalam menginterpretasikan kurikulum menjadi lebih operasional tentunya memiliki pemahaman yang berbeda sehingga materi pembelajaranpun bervariasi, “inilah” semangat Desentralisasi Pendidikan”. Disisi lain, fenomena yang tidak kalah risihnya dan memilukan nurani bangsa ini ketika “semangat lulus 100 %” menjadi semacam keharusan telah mengubah wajah pendidikan secara massif. Berbagai cara dihalalkan untuk mencapai target tersebut, tim sukses dibentuk pada tiap sekolah meski tidak formal yang bertugas untuk membagikan ransum (kunci jawaban) pada menit-menitterakhir.
Sementara itu, tidak dapat dipungkiri pula bahwa, disisi lain keberadaan Ujian Nasional juga menjadi semacam shock terapi bagi masyarakat bangsa ini yang terkenal malas dalam membaca. Para orang tua murid yang peduli terhadap peningkatan mutu dan kualitas anak-anaknya tentunya akan mendorong anak-anaknya untuk belajar sejak dini karena mengetahui betapa sulitnya Ujian Nasional yang akan dihadapi oleh sang anak. Inilah yang menjadi argumen, dari kelompok masyarakat yang “pro” terhadap penyelenggaraan UN. Disamping itu, dengan logika untuk mengangkat kualitas anak bangsa secara bersamaan juga menjadi faktor yang mendorong UN untuk terus dipertahankan sebagai indikator kelulusan siswa. Terlepas dari pro kontra di atas, berangkat dari azas keadilan dan pemerataan pendidikan “penulis” menyarankan untuk mereposisi Ujian Nasional. Artinya, Ujian Nasional tetap boleh diselenggarakan sebagai salah satu instrumen evaluasi secara nasional, namun peruntukannya tidak dijadikan sebagai indikator mutlak kelulusan, melainkan dijadikan sebagai salah satu indikator kelulusan dengan mengembalikan kepada daerah untuk menentukan standar kriteria kelulusannya. Dengan Ujian Nasional model baru ini, penyusunan soal tidak lagi dilakukan secara nasional tetapi dilakukan oleh masing-masing daerah. Untuk kepentingan memantau mutu pendidikan secara nasional, pemerintah pusat tetap memegang peran sebagai pemantau dan pengawas terhadap penyelengaraan UN. Dari hasil Ujian Nasioanal tersebut, kemudian pemerintah pusat dapat mengambil langkah-langkah perbaikan dan peningkatan aspek-aspek penting yang akan mendukung agenda peningkatan mutu pendidikan nasional secara keseluruhan.
Dengan model ini, Ujian Nasional juga dijadikan sebagai sarana untuk meningkatkan mutu sekolah secara bertahap. Karena itu, sekolah yang belum memenuhi standar pendidikan harus dibantu untuk meningkat. Model baru ini juga dapat mengikis kesan dan citra negatif yang melekat pada guru selama ini, dimana guru dicitrakan sebagai pihak yang tidak dapat dipercaya karena suka memanipulasi nilai siswanya, membocorkan soal dan semata-mata ingin meluluskan siswanya tanpa memperhatikan mutu luaran. Pada bagian lain, dengan model baru ini, gran desain untuk meningkatkan mutu pendidikan secara sistemik dilakukan secara batton up dengan berpegang pada prinsip desentralisasi yang saling menguntungkan. Jika memang butir-butir penting dalam amar putusan Mahkamah Agung seperti perbaikan sistem pendidikan, peningkatan dan pemerataan kualitas dan kuantitas sarana pendidikan serta peningkatan akses layanan informasi kepada masayarakat pendidikan, telah dilakukan perbaikan secara terencana dan berkesinambungan, maka Ujian Nasional dapat dijadikan sebagai indikator kelulusan dengan standar kriteria kelulusan mutlak seperti saat ini dapat diterapkan kembali. Saya kira, pilihan inilah yang paling logis untuk saat ini, sebab diakui atau tidak kita masih berbenah. Kita tentunya tidak ingin terbang jauh sebelum landasan pacu kita siapkan secara memadai. Mudah-mudahan tawaran di atas akan menjadi inspirasi bagi pengambil kebijakan dalam mere-evaluasi Ujian Nasional serta menjadi landasan konseptual bagi pelaku pendidikan di daerah dalam memberikan masukan dan kritikan terhadap pemerintah pusat berkenaan dengan penyelenggaraan Ujian Nasional.

Andy. Lahir di Makassar 22 Juli 1989, sekolah formal tamat pada tahun 2007 di SMA Neg. 4 Makassar dan pendidikan non-formalnya sekarang nyantri di Pesantren An-Nahdlah 2001- Sekarang. Melanjutkan pendidikan di fakultas Tarbiyah 2007- Sekarang.
2 Pada dasarnya Validitas dibagi atas dua macam yaitu vadilitas logis dan validitas empiris. Baca selengkapnya Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, (Cet. 9, Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hal. 65.
3 Ibid.
4 Lihat UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
5 Ibid.
7Taufikurrahman saleh, Membangun Pendidikan Indonesia; Reformasi Pendidikan Menuju Masyarakat Berbasis Ilmu Pengetahuan (Cet. I: Jakarta: LPP PP IPNU 2009). hal. 64-65.
8 Ibid.
9 Ibid.
10Ibid.
11Dapat diakses melalui jejaring situs http://ujiannasional.org/panduan-umum-ujian-nasional.htm. Di unduh pada tanggal 13 Maret 2010.

Sabtu, 15 Mei 2010

Perihal Teori Tentang Guru Profesional

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Transformasi global dalam bidang ekonomi, politik, budaya dan pendidikan akan berjalan cepat karena didorong oleh perdagangan bebas dan perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi, menuju masyarakat maju. Masyarakat Indonesia telah memutuskan untuk ikut serta dalam pembangunan perdagangan dunia yang bebas dan saling menguntungkan, dalam rangka mewujudkan masyarakat maju pada tahun 2020. Dengan meningkatkan mutu pendidikan sains, sosial serta teknologi di tingkat pendidikan dasar sampai perguruan tinggi sehingga mutu pelajaran akan sejajar dengan negara maju lainnya. Serta peningkatan mutu dan jumlah tenaga sains, sosial dan teknologi berbanding.
Di dalam era globalisasi yang meminta kualitas di berbagai segi kehidupan manusia menuntut kualitas profesionalisme yang tinggi. Masyarakat yang semakin berkualitas pendidikannya bukan hanya menuntut barang dan jasa yang berkualitas tinggi, tetapi juga organisasi yang dikelola secara profesional.
Jabatan guru merupakan jabatan profesional yang berarti bahwa pekerjaan guru diakui sejajar dengan pekerjaan profesional lainnya, misalnya pekerjaan bidang kedokteran dan hukum. Pekerjaan profesional ini bersifat kompleks, yang menuntut penguasaan kemampuan yang kompleks pula. Kemampuan keguruan sebagai kemampuan profesional mempersyaratkan penguasaan yang sangat kompleks yang harus dibentuk dalam pendidikan prajabatan guru mutlak diperlukan untuk memungkinkan terkuasainya kemampuan profesional keguruan yang kompleks oleh para calon guru.
Dalam standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat (3) butir c dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi professional adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing oeserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam standar Nasional Pendidikan.
Conny Semiawan dalam Sutomo mengisyaratkan bahwa untuk menjadi tenaga yang profesional guru harus meningkatkan kemampuannya yaitu ia harus dapat mengantisipasi berbagai perubahan dan perkembangan, mampu merancang dan melaksanakan kegiatan belajar mengajar yang mengacu pada proses belajar mengajar yang lebih baik. Selanjutnya Ia mengemukakan bahwa profesionalisme yang berkenaan dengan suatu keahlian, ketrampilan dan sikap untuk bertindak yang terbaik bagi lingkungannya. Seorang yang profesional senantiasa berpandangan melakukan sesuatu yang benar dan baik.
Dari paparan di atas, profesionalisme seorang guru merupakan hal yang harus dimiliki setiap guru, karena Guru adalah aset nasional intelektual bangsa dalam pelaksanaan pendidikan yang mempersiapkan pengembangan potensi peserta didik dalam rangka melahirkan sumber daya manusia yang mampu, cerdas, terampil dan menguasai IPTEK serta berakhlak mulia guna menunjang peran serta dalam pembangunan.
Disisi lain untuk mencapai suatu profesionalisme bukanlah hal yang mudah, tapi harus melalui suatu pendidikan dan latihan yang relevan dengan profesi yang ditekuni. Untuk mencapai pendidikan yang berkualitas tidaklah semudah membalik telapak tangan, banyak masalah yang dihadapi dalam proses belajar mengajar, diantaranya keterbatasan sumber belajar, keterbatasan penguasaan pengetahuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan dalam kemajuan pendidikan, cara menyampaikan materi pelajaran, cara membantu anak agar belajar lebih baik, cara membuat dan memakai alat peraga, peningkatan hasil belajar anak dan pelaksanaan berbagai perubahan kebijakan yang berhubungan dengan tugasnya.
Sehingga, profesionalitas sangat diperlukan di era global, jika tidak maka kita akan tergilas oleh arus dan pada akhirnya tersisih. Maka dari itu pemakalah bermaksud untuk membahas perihal teoritentang guru professional.
B. Rumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan atas latar belakang tersebut, maka penulis hanya membatasi pada persoalan :
1. Pengertian profesi, profesionalisme, guru professional
2. Perihal teori tentang guru professional
BAB II
PROFESIONALISME GURU

A. Pengertian Profesi, Profesional, Guru Profesional
Profesionalisme berakar pada kata profesi yang berarti pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian, profesionalisme itu sendiri dapat berarti mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau orang yang profesional. Profesionalisme guru dapat berarti guru yang profesional.
Menurut Sanusi, et.al dalam Sujipto (1994:17) bahwa ciri-ciri utama suatu profesi itu sebagai berikut :
a) Suatu jabatan yang memiliki fungsi dan signifikansi sosoial yang menentukan (crusial).
b) Jabatan yang menuntut keterampilan/keahlian tertentu
c) Keterampilan/keahlian yang dituntut jabatan itu didapat melalui pemecahan masalah dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.
d) Jabatan itu berdasarkan pada batang tubuh disiplin ilmu yang jelas, sistematik, eksplisit yang bukan hanya sekedar pendapat khalayak umum.
e) Jabatan itu memerlukan pendidikan tingkat perguruan tinggi dengan waktu yang cukup lama.
f) Proses pendidikan untuk jabatan itu juga aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai profesional itu sendiri.
g) Dalam memberikan layanan kepada masyarakat anggota profesi itu berpegang teguh pada kode etik yang timbul yang dikontrol oleh organisasi profesi.
h) Tiap anggota profesi mempunyai kebebasan dalam memberikan judgement terhadap permasalahan profesi yang dihadapinya.
i) Dalam prakteknya melayani masyarakat anggota profesi otonom dan bebas dari campur tangan orang lain.
j) Jabatan ini mempunyai prestise yang tinggi dalam masyarakat dan oleh karenanya memperoleh imbalan yang tinggi pula.

Dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen Pasal 1 ayat 4 dikatakan: “Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memrlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memrlukan pendidikan profesi”.
Ini berarti bahwa pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak dapat memperoleh pekerjaan yang lain.
Dengan bertitik tolak dari pengertian ini, maka guru profesional adalah orang yang memiliki keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga mampu melaksanakan tugas-tugasnya dengan maksimal atau dengan kata lain guru profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik serta memiliki pengalaman yang kaya dibidangnya.
B. Perihal Teori Tentang Guru Profesional
Landasan teori profesionalisme guru pada makalah ini mencakup teori profesi guru, kompetensi guru, fungsi guru.
1. Profesi Guru
Profesi adalah suatu pekerjaan yang memerlukan pendidikan lebih lanjut dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang dipergunakan sebagai perangkat dasar dan implementasikan dalam berbagai kegiatan yang bermanfaat.
Sedangkan menurut Dedi Supriyadi menyatakan bahwa profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian dari para petugasnya, maksudnya pekerjaan yang disebut profesi itu tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak terlatih dan tidak disiapkan secara khusus terlebih dahulu untuk melakukan pekerjaan itu. Secara sederhana pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang secara khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oeh mereka yang karena tidak ada pekerjaan lain. Dengan demikian untuk menjadi seorang guru yang profesional harus mempersiapkan diri secara khusus baik dalam pendidikan maupun penguasaan materi.
Berdasarkan atas hakekat dan jenis profesi yang telah dikemukakan, diketahui bahwa suatu profesi menuntut persyaratan yang mendasar ketrampilan teknis yang lebih rinci, serta kepribadian tertentu.
Ciri-ciri dan syarat profesi adalah sebagai berikut:
a) Lebih mementingkan pelayanan kemanusiaan yang ideal dibandingkan kepentingan pribadi.
b) Seseorang pekerja profesional, secara relatif memerlukan waktu yang panjang untuk mempelajari konsep-konsep pengetahuan khusus yang mendukung keahliannya.
c) Memiliki kualifikasi tertentu untuk memasuki profesi tersebut serta mampu mengikuti perkembangan dalam pertumbuhan jabatan.
d) Memiliki kode etik yang mengatur keanggotaan, tingkah laku, sikap dan cara kerja.
e) Membutuhkan suatu kegiatan intelektual yang tinggi.
f) Adanya organisasi yang dapat meningkatkan standar pelayanan, disiplin diri dalam profesi, serta kesejahteraan anggotanya.
g) Memberikan kesempatan untuk kemajuan, spesialisasi dan kemandirian.
h) Memandang profesi sebagai suatu karier hidup dan menjadi seorang anggota yang permanen.
Sebagai perbandingan dan memperjelas disajikan pula ciri-ciri keprofesian sebagai berikut:
a) Pengakuan oleh masyarakat terhadap pelayanan tertentu yang hanya dapat dilakukan oleh kelompok pekerja yang dikategorikan sebagai profesi.
b) Dimilikinya sekumpulan bidang ilmu yang menjadi landasan sejumlah teknik dan prosedur yang baik.
c) Diperlukannya kesiapan yang sengaja dan sistematis dan sebelum orang melaksanakan suatu pekerjaan yang profesional.
d) Dimilikinya organisasi profesional yang melindungi kepentingananggotanya dari saingan kelompok luar, juga berfungsi tidak saja menjaga,akan tetapi sekaligus selalu berusaha meningkatkan kualitas layanan,kepada masyarakat, termasuk tindakan-tindakan etis profesional kepada nggotanya.
Dari dua kelompok ciri profesi di atas maka kita dapat menyimpulkan bahwa suatu profesi memiliki ciri-ciri yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
a) Suatu profesi betujuan untuk melayani masyarakat
Mengajar adalah pekerjaan melayani masyarakat yaitu mendidik anak-anak untuk mencerdaskan kehidupan bangsa pada masa mendatang.
b) Suatu profesi berpangkal pada ilmu pengetahuan
Suatu profesi dalam memberikan pelayanan memerlukan pengetahuan baik ketrampilan maupun pengalaman-pengalaman praktis maupun prinsip-prinsip abstrak yang muncul dari penelitian ilmiah dan analisis yang logis.
c) Suatu profesi mempunyai otonomi profesional
Seorang tenaga profesional dalam melaksanakan tugasnya mempunyai otonomi atau kebebasan dalam menggunakan pengetahuan, ketrampilan, dan pertimbangannya sendiri untuk melayani siswanya dalam batas kode etiknya.
d) Suatu profesi mempunyai kode etik
Kode etik bertujuan untuk mendidik anggota profesi melaksanakan tugas dan kewajibannya serta dengan tanggung jawab kepada yang mempercayainya. Dengan kode etik, guru mempunyai pedoman dasar untuk membina profesi.
e) Suatu profesi mempunyai organisasi profesi
Organisasi profesi menentukan ukuran dan syarat untuk menjadi anggota organisasi profesi, meningkatkan standar praktek profesi dan menjalankan profesi yang baik dan bertanggung jawab. Organisasi itu misalnya PGRI.
Sehubungan dengan profesi guru, Peters dalam buku Nana Sudjana mengemukakan ada 3 tugas pokok profesi guru, yaitu:



a) Guru sebagai pengajar
Menekankan pada tugas dalam merencanakan dan melaksanakan pengajaran. Dalam tugas ini guru dituntut memiliki seperangkat pengetahuan dan ketrampilan tekhnis mengajar, di samping menguasai ilmu atau bahan yang akan diajarkan.
b) Guru sebagai pembimbing
Menekankan kepada tugas guru dalam memberikan bantuan kepada siswa dalam pemecahan masalah yang dihadapi terkait dengan belajar mengajar.
c) Guru sebagai administrator
Merupakan jalinan antara ketatalaksanaan bidang pengajaran dan ketatalaksanaan pada umumnya, ketatalaksanaan bidang pengajaran lebih menonjol dan lebih diutamakan bagi profesi guru.
Perbedaan pokok antara profesi guru dengan profesi yang lain terdapat pada tugas dan tanggung jawabnya. Tugas dan tanggung jawab tersebut erat kaitannya dengan kemampuan yang disyaratkan untuk memangku profesi tersebut. Kemampuan dasar tersebut adalah kompetensi guru.

2. Kompetensi Guru
Kemampuan guru sering disebut dengan kompetensi, yaitu seperangkat kemampuan yang harus dikuasai guru dalam proses belajar mengajar. Raka Joni seperti dikutip Trimo (1991:30-31) menyatakan bahwa kompetensi guru meliputi kompetensi profesional, personal, dan kemasyarakatan. Secara garis besar, konsep kompetensi yang harus dimiliki tenaga pendidik adalah sebagai berikut:
a) Kompetensi profesional ialah kompetensi menguasai bidang akademik yang terpadu dengan penguasaan metodologi pengajaran sedangkan dalam penjelasan Pasal 28 ayat (3) butir c dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi profesional adalah kemampuan pnguasaan matri pembelajran secara luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan, yang meliputi:
• Memiliki daya pengertian, pengetahuan, pemahaman dan penghayatan yang luas dan mendalam tentang anak didik baik melalui ilmu teoritis maupun pengalaman;
• Mantap ilmu pengetahuannya;
• Mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
• Mampu mendidik yang berarti harus menguasai materi, metode
• kondisi anak, tujuan pendidikan, mampu memotivasi anak, menilai
• hasil belajar dan membimbingnya;
• Mempunyai bakat mendidik, sabar, penuh inisiatif dan kreatif.
b) Kompetensi Personal/Kepribadian ialah sikap pribadi yang dijiwai oleh filsafat hidupnya yang menggunakan budaya bangsa sedangkan dalam penjelasan Pasal 28 ayat (3) butir b dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan beribawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. , meliputi:
• Mempunyai latar dan reputasi yang baik;
• Berpandangan luas, berhati jujur, tulus, sportif dan simpatik;
• Bebas dan bersih dari sifat-sifat sombong dan egoistis;
• Berjiwa matang dan dinamis;
• Panjang akal, sabar, tabah, dan mau bekerja dalam arti mau membaktikan dirinya demi tugas;
• Bersih dari sifat-sifat dan kebiasaan pilih kasih dan membedakan siswa;
• Mempunyai kewibawaan di mata siswa.
c) Kompetensi Sosial ialah kemampuan guru dalam bergaul dan menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat setempat sedangkan dalam penjelasan Pasal 28 ayat (3) butir d dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik. sesame pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. adapaun yang termasuk dalam kompeetnsi sosial adalah:
• Berpikiran, berperasaan dan berbuat pantas di masyarakat;
• Bertanggungjawab terhadap anak didik;
• Mampu berkomunikasi dengan masyarakat secara lebih luas demi kepentingan pendidikan.
Mengacu pada tiga kompetensi di atas, maka Depdikbud seperti dikutip Suryasubrata secara garis besar mengelompokan 10 (sepuluh) kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh seorang guru, yaitu:
a) Menguasai bahan, meliputi:
- menguasai bahan bidang studi dalam kurikulum,
- menguasai bahan pemerkayaan/penunjang bidang studi;
b) Mengelola program belajar mengajar, meliputi:
- merumuskan tujuan pembelajaran,
- mengenal dan menggunakan prosedur pembelajaran yang tepat,
- melaksanakan program belajar mengajar,
- mengenal kemampuan anak didik;
c) Mengelola kelas, meliputi:
- mengatur tata ruang kelas untuk pelajaran,
- menciptakan iklim belajar mengajar yang serasi;
d) Penggunaan media atau sumber, meliputi
- mengenal, memilih dan menggunakan media,
- membuat alat bantu yang sederhana,
- menggunakan perpustakaan dalam proses belajar mengajar,
- menggunakan micro teaching untuk unit program pengenalan lapangan;
e) Menguasai landasan-landasan pendidikan;
f) Mengelola interaksi-interaksi belajar mengajar;
g) Menilai prestasi untuk kepentingan pelajaran;
h) Mengenal fungsi layanan bimbingan dan konseling di sekolah, meliputi:
- mengenal fungsi dan layanan program bimbingan dan konseling,
- menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling;
i) Mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah;
j) Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran.
3. Fungsi Guru
Adapun fungsi guru dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Mengajar
Dalam fungsi mengajar ini terkandung makna fungsi guru sebagai pendidik. Apabila guru mengajar berarti pula ia mendidik siswa-siswanya. Dengan mengajar guru bukan saja menyampaikan ilmu pengetahuan tetapi juga membnagun kepribadian siswa. Sebagai pengajar, seorang guru dituntut kemampuan mengorganisasikan proses seperti membuat satpel, memilih dan menggunakan metode dan alat pengajaran serta menilai hasil belajar siswa.
b. Membimbing
Suatu ilmu pengetahuan yang telah berkembang dalam pendidikan guru adalah yang mengenal bimbingan dan penyuluhan, kepada siswa-siswanya. Dengan bimbingan dan penyuluhan itu siswa akan dibantu mengatasi kesulitan-kesulitan belajar mereka. Siswa pasti akan menghadapi kesukaran ketika belajar karena banyak faktor yang mempengaruhi siswa. Tanpa memberikan bantuan untuk mengatasi kesukaran yang dihadapi siswa, maka tujuan yang telah direncanakan tidak akan tercapai, oleh karenanya memberikan bimbingan dan penyuluhan kepada siswa sebagai fungsi guru
c. Mengerjakan tugas-tugas administrasi
Semua guru pada suatu sekolah turut bertanggung jawab mengenai pelaksanaan sebagian besar tugas administrasi sekolah. Kelas sendiri merupakan salah satu unit administrasi sekolah dan guru bertanggungjawab atas administrasi kelas. Kelas sebagai unit organisasi tidak terlepas dari unit sekolah yang lebih besar dipimpin oleh kepala sekolah. Sebagai anggota kelompok akademik guru berkewajiban pula melakukan kegiatan akademik seperti menjadi panitia penyusunan kurikulum, mengurus administrasi siswa seperti pengisian daftar hadir, rapor, dan lain-lain.
d. Melakukan tugas-tugas dalam hubungan masyarakat
Sekolah tidak terpisah dari masyarakat, karena siswa maupun guru adalah anggota masyarakat. Guru biasanya mempunyai kesempatan untuk menggunakan fasilitas atau sumber masyarakat bagi kepentingan sekolah. Kalau hal ini dilakukan maka secara langsung fungsi mengajar dibantu pelaksanaanya.
e. Melakukan kegiatan-kegiatan profesional
Fungsi guru yang lain adalah turut membina dan mengembangkanorganisasi profesinya, yaitu organisasi yang mengabdi pada usaha memajukan pendidikan yang baik dan meningkatkan mutu kesejahteraan sosial guru, misalnya dengan menulis artikel mengenai pendidikan, kegiatan-kegiatan yang menyangkut kesejahteraan guru, mengikuti kursus-kursus, seminar dan lain-lain.
Kelima fungsi guru di atas tidaklah terpisah satu dengan yang lain, bahkan beberapa fungsi itu di dalam pelaksanaannya dapat berlangsung bersamaan. Di samping penggolongan di atas adapula yang mengelompokan fungsi dan peran guru seperti di bawah ini:
1. Guru sebagai pengelola proses pembelajaran
2. Guru sebagai moderator
3. Guru sebagai motivator
4. Guru sebagai fasilitator
5. Guru sebagai evaluator
Jadi yang dimaksud fungsi guru di atas dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Guru sebagai pengelola proses pembelajaran
Guru sebagai moderator kelas merupakan suatu organisasi yang semestinya dikelola dengan baik, mengacu pada fungsi-fungsi tersebut administrasi yang ada dan sudah lama berlaku adalah perencanan, pembagian tugas, penentuan staf, pengarahan, pengkoordinasian, dan penilaian guru harus bertindak sesuai pada tujuan organisasi kelas.
b. Guru sebagai moderator
Guru diharapkan tidak hanya menyampaikan materi tetapi lebih sebagai mederator, yaitu mengatur lalu lintas pembicaraan, jika ada alur pembicaraan yang tidak dapat diselesaikan oleh siswa maka gurulah yang wajib mendamaikan perselisihan siswa tersebut. Selain itu guru mempunyai kewajiban juga mengarahkan siswa untuk menyimpulkan hasil pembahasan materi pelajaran.
c. Guru sebagai motivator
Guru harus dapat memberi motivasi yang memancing kamauan siswa untuk aktif dalam proses belajar mengajar yakni guru haruslah memberikan stimulus yang baik terhadap peserta didik agar proses pembelajaran sejalan dengan tujuan pembelajaran.
d. Guru sebagai fasilitator
Tugas guru tidak hanya menyampaikan informasi kepada peserta didik, tetapi harus menjadi fasilitator yang bertugas memberikan kemudahan belajar (facilitate of learning). Selain itu, Guru harus memberikan kemudahan dan sarana kepada siswa agar dapat aktif belajar menurut kemampuannya.


e. Guru sebagai evaluator
Setiap kegiatan selalu diikuti oleh evaluasi jika orang-orang yang terlibat dalam kegiatan tersebut menginginkan terjadinya peningkatan atas kegiatannya pada masa yang akan datang. Guru merupakan orang yang paling tahu dan bertanggungjawab tentang terjadinya proses pembelajaran serta otomatis dituntut mengadakan evaluasi terhadap hasil dan proses pembelajaran yang berlangsung.
Demikian dari kedua pendapat tersebut di atas, uraian tentang fungsi seorang guru pada dasarnya adalah sama yaitu seorang guru mempunyai fungsi utama adalah mengajar, memberikan ilmu kepada anak didiknya melalui proses belajar mengajar, membangun kepribadian siswa, mengelola kelas sebagai suatu organisasi kemudian membimbing siswa untuk menjadi siswa yang cerdas dan menjadi makhluk yang berbudi luhur sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Profesionalisme berakar pada kata profesi yang berarti pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian, profesionalisme itu sendiri dapat berarti mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau orang yang profesional. Profesionalisme guru dapat berarti guru yang profesional.
2. Profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak dapat memperoleh pekerjaan yang lain.
3. Landasan teori profesionalisme guru pada makalah ini adalah:
• Profesi Guru
• Profesi adalah suatu pekerjaan yang memerlukan pendidikan lebih lanjut dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang dipergunakan sebagai perangkat dasar dan implementasikan dalam berbagai kegiatan yang bermanfaat.
• Kompetensi Guru
• Kemampuan guru sering disebut dengan kompetensi, yaitu seperangkat kemampuan yang harus dikuasai guru dalam proses belajar mengajar. Raka Joni seperti dikutip Trimo (1991:30-31) menyatakan bahwa kompetensi guru meliputi kompetensi profesional, personal, dan kemasyarakatan.
• Fungsi Guru, Adapun fungsi guru dapat dijelaskan sebagai berikut:
• Mengajar ;
• Membimbing;
• Mengerjakan tugas-tugas administrasi;
• Melakukan tugas-tugas dalam hubungan masyarakat, dan
• Melakukan kegiatan-kegiatan professional.

DAFTAR PUSTAKA

Ampryani,Wahyu. Identifikasi Masalah Profesionalisme Guru Pada Mahasiswa Pendidikan Geografi Angkatan tahun 2000 Universitas Negeri Semarang. Skripsi tidak diterbitkan. Semarang: UNS 2005.

Arikunto, Suharsimi. Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi. Jakarta: Rineka Cipta. 1993.
http://meetabied.wordpress.com/2009/10/30/peningkatan-profesionalism-guru-dalam-mengajar/. Di unduh pada tanggal 8 Pebruari 2010.
Mulyasa. E. DR. M.Pd. Standar Komptnsi dan Sertifikasi Guru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2007.
Sutomo. Profesi Kependidikan. Semarang: IKIP Press. 1998.
Munadi. Pengaruh Profesionalisme Guru Terhadap Prestasi Belajar Siswa Kelas I, II, dan III Cawu 2 SMU Negeri Jakenan Kabupaten Pati Tahun Pelajaran 1999/200. Semarang: IKIP Negeri Semarang.1999.
Suryasubrata. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta. 1997.
Tilaar, A.R. Pengembangan Sumber Daya Manusia Dalam Era Globalisasi(Visi, Misi dan Program Aksi Pendidikan dan Pelatihan Menuju 2020). Jakarta: Grassindo. 1995.

Hakikat Metode Pendidikan Islam

A. Pengertian Metode Pendidikan Islam
Pendidikan Islam dalam pelaksanaannya membutuhkan metode yang tepat untuk menghantarkan kegiatan pendidikannya ke arah tujan yang dicita-citakan. Bagaimanapun, baik dan sempurnanya suatu kurikulum pendidikan Islam, ia tidak akan berarti apa-apa, manakala tidak memiliki metode atau cara yang tepat dalam mentransformasikan nilai-nilai kepada peserta didik. Hal ini mengindikasikan bahawa metode atau cara merupakan sesuatu yang mesti dimiliki oleh setiap pendidik. Bahkan menurut Samsul Nizar dalam bukunya Filsafat Pndidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, bahwa ketidaktepatan dalam penerapan metode secara praktis akan menghambat proses belajar mengajara yang akan berakibat membuang waktu dan tenaga secara percuma. Karenanya metode merupakan pintu untuk menuju pembelajaran yang efektif dan menyenangkan.
Secara literal metode berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari dua kosa kata, yaitu meta yang berarti melalui dan hodos yang berarti jalan. Sedangkan pengertian menurut istilah metode adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal.
Berdasarkan pengertian di atas, bila dikaitkan dengan proses kependidikan Islam, maka metode berati suatu proses yang dipergunakan pendidikan dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan untuk mencapai tujuan yang telah diterapkan (dari segi pendidik). Sementara itu al-Syaibany, menjelaskan bahwa:
Metode pendidikan adalah segala segi kegiatan yang terarah yag dikerjakan oleh guru dalam rangka kemestian-kemestian mata pelajaran yang diajarkannya, cirri-ciri perkembangan peserta didiknya, dan suasana alam sekitarnya dan tujuan membimbing peserta didik untuk mencapai proses belajar yang diinginkan dan perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku mereka.

Sedangkan menurut Samsul Nizar sehubungan penggunaan metode dalam pendidikan Islam:
Pada prinsipnya adalah pelaksanaan sikap hati-hati dalam pekerjaan mendidik dan mengajar. Hal ini mengingat bahwa sasaran pendidikan Islam itu adalah manusia yang telah memiliki kemampuan dasar untuk dikembangkan. Sikap kurang hati-hati akan dapat berakibat fatal sehingga mungkin saja kemampuan dasar yang telah dimiliki peserta didik itu tidak akan berkembang secara wajar, atau pada tingkat yang paling fatal dapat menyalahi hukum-hukum dan arah perkembangannya sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah SWT, Tuhan Pencipta Sekalian Alam.

Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa metode pendidikan Islam adalah cara pendidik yang telah direncanakan secara sistematis untuk mengimplemantasikan tujuan yang telah disusunnya sedemikian rupa, guna merubah peserta didiknya menjadi manusia yang dewasa dan berkepribadian muslim.

B. Asas-asas Umum Metode Pendidikan Islam
Asas merupakan landasan awal yang dipergunakan untuk merumuskan sesuatu. Berkenaan dengan metode pendidikan Islam, maka asas atau landasan merupakan hal yang sangat penting, karena ia menjadi roh dalam penentuan metode itu sendiri. Asas-asas tersebut pada prinsipnya tidak banyak berbeda dengan asas-asas tujuan dan kurikulm pendidikan Islam, karena ia merupakan komponen-komponn yang tak terpisahkan sehingga membentuk satu kesatuan yang membentuk suatu sistem.
Secara umum, asas-asas metode pendidikan Islam menutur al-Syaibany, adalah:
1. Asas agama, yaitu prinsip-prinsip, asas-asas dan fakta-fakta umum yang diambil dari sumber ajaran Islam yakni Al-Qur’an dan Sunnah Rasul serta Ijtihad.
2. Asas biologis, yaitu dasar yang digunakan utuk mempertimbangkan kebutuhan jasamani dan tingkat perkembangan usia peserta didik, karena manusia merupakan makhluk biologis.
3. Asas psikologis, yaitu prinsip yang lahir dari kondisi psikis peserta didik, seperti bakat, motivasi, sikap, minat dan secara umum keadaan jiwa peserta didik dalam penerimaan pembelajaran.
4. Asas sosial, yaitu asas yang bersumber dari kehidupan manusia seperti tradisi, kebutuhan-kebutuhan, harapan-harapan dan tuntuntan kehidupan yang senantiasa mengalami perkembanagan seperti kemajuan ilmu dan teknologi.
Masih berkenaan dengan asas-asas metode pendidikan Islam, jika di lihat dari sudut pelaksanaannya dapat diformulasikan sebagai beerikut:
1. Asas motivasi, yaitu usaha pendidik untuk membangkitakan perhatian peserta didik ke arah bahan pelajaran yang sedang disajikan.
2. Asas aktivitas, yaitu memberikan kesempatan kepada peserta didik ambil bagian dari proses pembelajaran.
3. Asas apersepsi, yaitu mengupayakan respon-respon tertentu dari peserta didik sehingga mereka memperoleh perubahan pada tingkah laku, perbendaharaan konsep, dan kekayaan akan informasi,
4. Asas peragaan, yaitu memberikan variasi dalam cara mengajar dengan mewujudkan bahan yang diajarkan secara nyata, baik dalam bentuk aslinya maupun tiruan.
5. Asas ulangan, yaitu usaha untuk mengetahui taraf kemajuan atau keberhasilan belajar peserta didik dalam aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap (tingkah laku).
6. Asas korelasi, yaitu menghubungkan suatu bahan pelajaran dengan bahan pelajaran dengan bahan pelajaran lainnya, serta menghubungkan anatar konsep dengan realitas yang terjadi sehingga membentuk mata rantai yang erat.
7. Asas konsentrasi, yaitu memfokuskan pada suatu pokok masalah tertentu dari keseluruhan bahan pelajaran untuk melaksanakan tujuan pendidikan serta memperhatikan peserta didik dalam segala aspeknya.
8. Asas individualisasi, yaitu memprhatikan perbedaan-perbedaan peserta didik.
9. Asas sosialisasi, yaitu menciptakan situasi sosial yang membangkitkan semangat kerja sama antara peserta didik dengan pendidik atau sesame peserta didik dan masyarakat, dalam menerima pelajaran agar lebih berdaya guna.
10. Asas evaluasi, yaitu memperhatikan hasil dari penilaian terhadap kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik, sebagai umpan balik pendidik dalam memperbaiki cara mengajar dan mendidiknya.
11. Asas kebebasan, yaitu memberikan keleluasaan keinginan dan tindakan peserta didik yang mengacu pada hal-hal yang positif.
12. Asas lingkungan, yaitu menentukan metode dengan berpijak pada pengaruh lingkungan akibat interaksi dengan lingkungan.
13. Asas globalisasi, yaitu memperhatikan reaksi peserta didik terhadap lingkungan secara keseluruhan, tidak hanya secara intelektual, tetapi secara fisik, sosial dan sebagainya.
14. Asas pusat-pusat minat, yaitu memprhatikan kecenderungan jiwa yang tetap ke jurusan suatu yang berharaga bagi seseorang.
15. Asas ketaualadanan, yaitu memberikan contoh terbaik untuk ditiru dan ditauladani peserta didik.
16. Asas pembiasaan, yaitu membiasakan hal-hal positif dalam diri peserta didik sebagai upaya pembinaan mereka.
Sehingga dari paparan di atas, setidaknya metode pendidikan Islam senantiasa dikembangkan dengan mengacu pada asas-asas di atas. Melalui aplikasi nilai-nilai Islam dalam proses transformasi keilmuan, maka diharapkan proses tersebut dapat diterima, dipahami, dihayati, ditiru, dihayati, dan diyakini sebagai sebuah kebenaran, sehingga pada gilirannya terjadi proses transformasi ilmu sampai kepada transformasi perilaku yakni peserta didik bertindak bukan karena takut, akan tetapi peserta didik bertindak karena merupakan kesadaran individunya.
Dalam konteks itu, M. Arifin mengemukakan beberapa metode yang paling penting:
1. Mendidik dengan menggunakan akal
2. Mendorong dengan pengamalan ilmu
3. Mendorong berjihad
4. Metode pemberian suasana (situasional)
5. Metode mendidik secara kelompok (metode mutual education)
6. Metode intruksioanal
7. Metode mendidik dengan bercerita kisah Qur’ani dan Nabawi
8. Metode bimbingan dan Penyuluahan
9. Metode pemberian contoh dan tauladan
10. Merode diskusi
11. Metode soal-jawab
12. Metode pemberian perumpamaan (metode imtsal)
13. Metode targhieb dan tarhieb
14. Metode taubat dan ampunan
15. Metode- metode lainnya seperti motivasi.

Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam

1. Dasar Pendidikan Islam
Persoalan dasar dan tujuan pendidikan merupakan masalah yang sangat fundamental dalam pelaksanaan pendidikan, oleh karena itu corak dan isi pendidikan, serta tujuan pendidikan itu sangatlah menetukan ke arah mana peserta didik (santri) akan dibawa. Sehingga sangatlah urgen lembaga pendidikan Islam menentukan dasar dan tujan pendidikan Islam.
Sebagai aktivitas yang bergerak dalam proses pembinaan dan pembentukan kepribadian muslim (peserta didik), maka pendidikan Islam memerlukan asas atau dasar yang dijadikan landasan kerja, agar pendidikan Islam mampu memberikan kontribusi nyata bagi peserta didik (santri). Dengan dasar ini akan memberikan arah bagi pelaksanaan pendidikan yang telah diprogramkan. Dalam konteks ini, dasar yang menjadi acuan pendidikan Islam hendaknya merupakan sumber nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat menghantarkan peserta didik (santri) ke arah pencapaian pendidikan. Oleh karena itu, dasar yang terpenting dari pendidikan Islam adalah al-Quran dan Sunnah Rasulullah (hadits) yang dapat dikembangkan dengan ijtihad, al-maslahah al-mursalah, istihsan, qiyas, dan sebagainya. Menetapkan al-Qur’an, Sunnah Rasulullah (hadits) serta ijtihad sebagai dasar pendidikan Islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran yang didasarkan pada keimanan semata. Namun justru karena kebenaran yang terdapat dalam kedua dasar tersebut dapat diterima oleh nalar manusia dan dibolehkan dalam sejarah atau pengalaman kemanusiaan.
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an yang secara harfiah berarti “bacaan sempurna” merupakan suatu nama pilihan Allah yang sungguh tepat, karena tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal tulis-baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi Al-Qur’an Al-Karim, bacaan sempurna lagi mulia itu. al-Qur’an memiliki keuniversalan baik itu dari segi keluasan pengetahuannya maupun dari segi keluasan petunjuk tata cara hidupnya. al-Qur’an yang mempunyai keluasan pengetahuan dapat kita lihat ajaran yang terkandung didalamnya, yaitu yang berhubungan dengan masalah ketuhanan (keimanan) yang disebut Aqidah, dan sedangkan keluasan petunjuk tata cara hidup, yaitu yang berhubungan dengan amal (sesama manusia) yang disebut Syari’ah.
Dari beberapa pandangan al-Qur’an yang menjadi dasar pendidikan Islam dapat kita lihat dalam surah al-‘Alaq (1-5) yang berbunyi:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ {1} خَلَقَ الإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ {2} اقْرَأْ وَرَبُّكَ اْلأَكْرَمُ {3} الَّذِي عَلَّمَ ابِالْقَلَمِ {4} عَلَّمَ اْلإِنسَانَ مَالَمْ يَعْلَمْ {5}
Artinya:
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan-mu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhan-mullah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

Wahyu pertama itu tidak menjelaskan apa yang harus dibaca, karena al-Qur’an menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut بِاسْمِ رَبِّكَ (bismi Rabbik), dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Hal ini mengindikasikan bahwa al-Qur’an turun menjadi landasan fundamental buat penyelenggaraan pendidikan, agar peserta didik bukan hanya memiliki penegetahuan, tetapi bagaimana pengetahuan dimilikinya mampu teraplikasi dalam kehidupan sehari-harinya (bermanfaat).
b. Sunnah Rasulullah
As-Sunnah ialah perkataan, perbuatan ataupun pengakuan Rasul Allah Swt. Yang dimaksud dengan perkataan ialah kejadian perbuatan orang lain yang diketahui Rasulullah dan beliau membiarkan saja atau perbuatan itu berjalan. Sunnah merupakan ajaran kedua sesudah al-Qur’an.
Dalam pendidikan Islam, sunnah Rasul mempunyai dua fungsi, yaitu: (1) menjelaskan sistem pendidikan Islam terdapat dalam al-Qur’an dan menjelaskan hal-hal yang terdapat didalamnya. (2) menyimpulkan metode pendidikan dari kehidupan Rasulullah bersama sahabat, perlakuannya terhadap anak-anak, dan pendidikan keimanan yang pernah dilakukannya.
Oleh karena itu Sunnah merupakan landasan kedua bagi cara pembinaan pribadi manusia muslim. Sunnah selalu kemungkinan penafsiran. itulah sebabnya, mengapa ijtihad perlu ditingkatkan dalam memahaminya termasuk sunnah yang berkaitan dengan pendidikan.
c. Ijtihad
Ijtihad adalah istilah para fuqaha, yaitu berpikir dengan menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh ilmuwan syari’at Islam untuk menetapkan/menentukan sesuatu hukum syari’at Islam dalam hal-hal yang ternyata belum ditegaskan dalam oleh al-Qur’an dan Sunnah. Begitupun dengan pendidikan Islam yang menagalami perkembangan setiap saat, sehingga disinilah letak kepentingan mengapa ijtihad dijadikan sebagai salah satu dasar dari pendidikan Islam itu sendiri. Agar teori pendidikan Islam mampu berhubungan langsung dengan perkembangan yang terjadi. Akan tetapi, ijtihad dalam pendidikan Islam haruslah terus berpegang pada al-Qur’an dan Sunnah yang diolah oleh akal yang sehat dari para ahli pendidikan Islam.
Sejalan dengan itu maka pendidikan Islam sebagai suatu tugas dan kewajiban dalam mengemban aspirasi rakyat, harus mencerminkan dan menuju ke arah tercapainya masyarakat Pancasila dengan warna agama.
2. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan merupakan suatu yang diharapkan tercapai setelah sesuatu atau kegiatan selesai. Maka pendidikan, karena mrupakan suatu usaha dan kegiatan yang berproses melalui tahap-tahap dan tingkatan-tingkatan, tujuannya bertahap dan bertingkat. Secara garis besar tujuan dari pendidikan Islam sebagaimana dikemukakan oleh Said Agil Husin Al Munawar bahwa:
Membentuk manusia yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, maju dan mandiri sehingga mampu memiliki ketahanan rohaniah yang tinggi serta mampu beradapatasi dengan dinamika perkembangan masyarakat.

Sedangkan secara operasioanl ada beberapa tujuan pendidikan yaitu:
a. Tujuan Umum
Tujuan umum ialah tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan, baik dengan pengajaran atau dengan cara lain. Tujuan itu meliputu seluruh aspejk kemanusiaan yang meliputu sikap, tingkah laku, penampilan, kebiasaan dan pandangan. Olehnya itu tujuan umum ini berbeda pada setiap tingkat umur, kecerdasan, situasi dan kondisi. Bentuk insane kamil dengan pola takwa harus dapat trgambar pada pribadi seseorang yang sudah dididik walaupun dalam ukuran kecil dan mutu rendah, sesuia dengan tingkat-tingkat tersebut.
Tujuan umum pendidikan Islam harus dikaitkan pula dengan tujuan pendidikan nasional tempat pendidikan Islam itu diselenggarakan dan harus dikaitkan dengan tujuan institusional dari lembaga pendidikan sebagai pihak penyelenggara, karena setiap lembaga pendidikan mempunyai tujuan institusional yang berbeda-beda. Selanjutnya dari tujuan institusional ini dirumuskan mengenai tujuan kurikuler, berkenaan dengan tujuan pada pendidikan formal (sekolah, madrasah) yang selanjutnya dikembangkan dngan tujuan instruksional.
b. Tujuan Akhir
Pendidikan Islam itu berlangsung selama hidup, maka tujuan umum akhirnya terdapat pada waktu hidup di dunia ini telah berakhir pula. Artinya pendidikan Islam mampu memberikan keselamatan dunia akhirat.
Tujuan akhir pendidikan Islam itu dapat dipahami dalam firman Allah dalam surah Ali Imran (102) yang berbunyi:
يَاأَيُّهاَ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ {102}
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.

Dari ayat di atas dapat dipahami tujuan umum dari pendidikan Islam adalah mati dalam keadaan berserah diri kepada Allah sebagai muslim yang merupakan ujung dari takwa sebagai proses akhir dari proses pendidikan itu sendiri.
c. Tujuan Sementara
Tujuan sementara ialah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam kurikulum pendidikan formal. Artinya, bila dikaitkan dengan pendidikan Islam tujuan sementara ini sangat erat kaitannya dengan proses pendidikan yakni gambaran dari pengalaman proses pendidikan yang dialami peserta didik dapat kita lihat dari seberapa lama peserta didik mengenyam pendidikan formal, sehingga tingkat Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar pasti mempunyai perbedaan baik itu dari segi pengetahuan dan pengalaman. Atau dengan kata lain tujuan sementara ini peserta didik diberikan bobot pengalaman sesuai dengan tingkat pendidikannya.
d. Tujuan Operasioanal
Tujuan operasional ialah tujuan praktis yang akan dicapai dengan sejumlah kegiatan pendidikan terstentu. Dalam pendidikan formal, tujuan operasional ini disebut juga tujuan intruksional yang selanjutnya dikembangkan menjadi tujuan intruksional umum dan tujuan intruksional khusus (TIU dan TIK). Tujuan intruksioanl ini merupakan tujuan pengajaran yang direncanakan dalam unit-unit kegiatan pengajaran.
Dalam tujuan operasional ini lebih banyak dituntut dari anak didik suatu kemampuan dan keterampilan tertentu. Sifat operasinalnya lebih ditonjolkan dari sifat penghayatan dan kepribadian. Misalnya anak SD yang diajarkan cara bribadah, maka yang dituntut adalah bagaimana peserta didik tersebut terampil melakukan ibadah, meskipun ia belum memahami dan menghayati ibadah itu.