Minggu, 16 Mei 2010

Wajah Pendidikan di Indonesia

Oleh: Andy

“ ilmu pendidikan di Indonesia mengalami krisis identitas karena lonceng kematiannya telah berdentang”Mochtar Buchari
“ ilmu pendidikan di Indonesia dalam kondisi hidup enggan mati tak mau “
H.A.R. Tilaar
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Pendidikan di Indonesia bila kita gambarkan maka terlintas dalam benak kita gambar yang kusut. Kondisi semacam itu, disebabkan, antara lain, oleh politisasi praksis pendidikan di Indonesia selama Orde Baru, merupakan warisan “leluhur sejarah”, semntara lembaga pendidikan tinggi yang seharusnya bertugas mengkaji secara ilmiah konsep-konsep pendidikan telah beralih pada deskripsi yang trival tentang praktik-praktik pendidikan. Wajarlah kemudian ada suara yang mengatakan bahwa pendidikan kita dalam keadaan mati suri.
Hal ini, kita harus akui bila melihat realitas yang terjadi dalam pendidikan di Indonesia. Kita masih teringat “fatwa” Mahkamah Agung mengenai UNAS, “bahwa UNAS tetap dilaksanakan jika sistemya ikut diperbaiki (dalam hal ini sistem pendidkan yang dimaksud adalah kualitas guru, kurikulum, dan pemenuhan sarana dan prasarana). Tetapi apa yang terjadi keputusan Mendiknas tetap pada pendiriannya yakni tetap melaksanakan UNAS. Sangat Ironis memang, bila kita mendengar pengakuan Mendiknas sendiri bahwa dalam pendidikan kita belum sepenuhnya terpenuhi sarana dan prasarana. Tapi mengapa ujian Negara tetap dilakasanakan. Sebenarnya ada apa dibalik ujian Negara?.
Tulisan ini, hendak mengkaji masalah pantaskah UNAS dipertahankan melalui dua sudut pandang, yakni dari sudut pandang pendidikan dan poltik.
1. Sebuah tes yang dapat dikatakan baik sebagai alat pengukur harus memenuhi persyaratan tes, yaitu memiliki: pertama, validitas. Artinya sebuah tes dikatakan valid apabila tes tersebut mengukur apa yang hendak diukur. Dalam bahasa Indonesia “valid” disebut dengan istilah “shahih”. Sebenarnya yang menjadi penekanan dalam pembicaraan validitas ini bukan ditekankan pada tes itu sendiri tetapi pada hasil pengetesan atau skornya. Kita bisa melihat betapa skor yang didapat oleh anak didik sangatlah minim (tidak lulus) kalau kita nilai secara objektif. Tetapi kita melihat tiap tahunnya yang terjadi adalah bukanlah peserta didik yang ujian, tetapi yang melaksanakan ujian adalah para pendidik.
Kedua, Reliabilitas, artinya dapat dipercaya. Tes tersebut dikatakan dapat dipercaya jika memberikan hasil yang tetap apabila diteskan berkali-kali. Sehingga dengan kata lain realibitas adalah ketetapan sedangkan validitas adalah ketepatan. Muncul sebuah pertanyaan mengenai UNAS, apakah UNAS mempunyai ketetapan terhadapa siswa, artinya apakah tes yang sama pada waktu yang berlainan, akan menghasilkan nilai yang sama (rangking yang sama), tetapi malah sebaliknya yang terjadi.
Ketiga, Objektivitas, berarti tidak adanya unsur pribadi yang mempengaruhi. Apakah kita dapat menjamin bahwa seluruh pelaksanaan UNAS tersebut objektif. Tetapi yang terjadi adalah nihil.
Keempat, Praktikabilitas, sebuah tes dikatakan praktikabilitas yang tinggi apabila tes tersebut bersifat praktis, mudah pengadministrasiannya. Tes dapat dikatakan praktis apabila mudah dilaksanakan, mudah pemeriksaannya dan dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk yang komprehensif. Yang menjadi perhatian penulis apakah UNAS ini mudah dilaksanakan, realitas membuktikan tiap tahun dalam tiga hari polisi, aktivis LSM, dan mahasisiwa masuk kesekolah untuk mengawasi pelaksanaan ini. Bukan hal ini membutuhkan biaya uang banyak.
Kelima, Ekonomis, bahwa pelaksanaan tes tersebut tidak membutuhkan biaya yang mahal, tenaga yang banyak, dan waktu yang lama. Akan tetapi UNAS ini melainkan hanya sebuah proyek tahunan buat para pemerintah yang sangat menjanjikan.

2. Ketika disahkannya UU No. 20 2003 Tentang Sisdiknas oleh DPR dan disetujui oleh kepala Negara, memunculkan dua pendapat, pertama, apakah dengan disahkan UU tersebut dapat mengembalikan pendidikan kita pada jalan yang sebenarnya “yang lama” mati dalam kesendiriannya. kedua, apakah UU ini lebih menitikberatka pada kepentingan penguasa pada waktu itu, yakni memenuhi “kantong-kantong” kehidupan pemerintah.
Dalam Bab IX tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 35 (1) disebutkan “Standar Nasional Pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala”. Yang menjadi pertanyaan kemudian UU diatas menginginkan standar ini ditingkatkan secara berencana dan berkala apakah sudah dilaksanakan?
Jawaban yang tetap, jangankan semuanya diterapkan, malah tidak sama sekali diterapkan. Hal ini dapat kita lihat penjelasan UU di atas: Standar isi mencakup ruang materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan ke dalam persyaratan tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepekati. Pertanyaan kemudian lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sudah diterapkan. Hal inilah yang membuat wajah pendidikan kita yang sangat brutal yang hanya menilai 3 jam dalam jangka waktu 3 hari (lebih), jika dibandingkan perjuangan pesrta didik selama 3 tahun. Hasil studi International Educational Achievement (IEA) menunjukkan, kemapuan membaca siswa SD di Indonesia berada diurutan ke-38 dari 39 negara yang masih diteliti. Sementara penelitian the Third International Mathematics and Science Study Repeat tahun 1999 menunjukkan, kemampuan peserta didik untuk tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) Indonesia di bidang Ilmu Pengetahuan Alam di urutan ke-32 dan untuk Matematika di posisi ke-34 dari 38 negara yang diteliti di seluruh dunia. Mengacu pada nilai UNAS sebagai cerminan kualitas pendidikan, terlihat nilai rata-rata nasional lulusan peserta didik tingkat SMP, yaitu 5,46 selam lima tahun terakhir. Hasil tersebut sangat tentu memprihatinkan, karena angka itu dapat dikategorikan sebagai nilai “merah”.
Rendahnya kualitas hasil pendidikan itu sangatlah berdampak pada rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia. Menurut Human Development Reports, HDR 2002 (Laporan Pembangunan Manusia 2002) yang dikeluarkan oleh Program pembangunan PBB (United Develoment Programme, UNDP) tentang Human Development Indicators 2002, Indonesia menempati peringkat 110 dari 173 negara yang diteliti dengan Human Development Index (HDI) 0.684. Posisi Indonesia itu jauh di bawah Negara anggota ASEAN, misalnya Singapura (25), Thailand (70), Malaysia (59), Brunei Darussalam (32), Vietnam (109). Kemudian pada Human Development Reports 20003, Indeks tersebut menunjukkan kemerosotan menjadi 0.682. Penurunan indeks yang mencerminkan memburuknya kualitas manusia Indonesia ini juga terlihat dari menurunnya peringkat HDI dari urutan 110 ke 112, semntara Malaysia naik ke peringkat 58 dan Vietnam masi diurutan ke 109. Apakah hal ini luput dari kacamata pemerintah, sehingga ia ingin menyamaratakan standar pendidikan secara nasional.
Standar tenaga kepedidikan mencakup persyartan pendidikan prajabatan dan kelayakan, baik fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan. Mendiknas pernah mengakui bahwa kualitas guru di Indonesia masih jauh dari kesempurnaan,. Hal ini sangatlah tumpah tindih mendiknas mengakui bahwa kualitas guru sangatlah minim akan tetapi kenapa masih standarisasi dalam pendidikan.
Standar sarana dan prasarana pendidikan mencakup ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi, dan berekreasi, dan sumber belajar lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajran, termasuk penddunaan teknologi informasi dan komunikasi.
Peningkatan secara berencana dan berkala dimaksudkan untuk meningkatkan keunggulan lokal, kepentingan nasional, keadilan, dan kompetensi antarbangsa dalam peradaban dunia. Akan tetapi yang terjadi malah pembodohan disana sini. Maka dengan sendirinya terjadi pro kontra penyelenggaraan UN, apakah mnyalahi konstitusi atau tidak sama sekali.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan atas latar belakang tersebut, maka penulis hanya membatasi pada persoalan :
1. Apa landasan hukum orang yang mendukung UN ?
2. Apa landasan hukum orang yang menolak UN ?
3. Apakah solusi yang tepat untuk menenggarai pro dan kontra atas penyelenggaraan UN ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini adalah :
1. Diharapkan pembaca mengetahui landasan hukum orang yang mendukung UN.
2. Diharapkan pembaca mengetahui landasan hukum orang yang menolak UN.
3. Diharapkan pembaca menegetahui solusi yang tepat untuk UN.




Pembahasan

A. Landasan hukum orang yang mendukung UN
Ujian Nasional merupakan salah satu kegiatan dari pelaksanaan kurikulum yang dilaksanakan pada tiap – tiap akhir tahun pelajaran yang diikuti oleh seluruh siswa yang duduk di kelas XII (dua belas) dalam rangka menyelesaikan salah satu jenjang pendidikan untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Adapun yang melatar belakangi penyusunan program kegiatan ini, antara lain :
1. Bahwa Ujian Nasional merupakan kegiatan yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dalam usaha menyukseskan program pendidikan nasional, baik secara kuantitas maupun kualitas.
2. Bahwa hasil Ujian Nasional dapat digunakan untuk pembinaan pendidikan , terutama fasilitas dan proses belajar mengajar ( PBM ) di kelas.
3. Bahwa nilai yang dicapai dalam Ujian Nasional dapat digunakan untuk menentukan peringkat seleksi penerimaan siswa baru ke jenjang yang lebih tinggi.
4. Bahwa Ujian Nasional merupakan komponen penentu para siswa untuk penentuan nilai IJAZAH ( Surat Tanda Kelulusan ).
Dasar dan Landasan Hukum Ujian Nasional Penyusunan program kerja kegiatan Ujian Nasional ini didasari atas :
1. Keputusan Badan Standar Nasional Pendidikan Nomor 1512/BSNP/XII/2008 tentang Prosedur Operasi Standar (POS) Ujian Nasional SMA Tahun Pelajaran 2008/2009.
2. Undang-Undang Nomor 20Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
3. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 77 tanggan 5 Desember 2008 Tentang Ujian Nasional Untuk SMA Tahun Pelajaran 2008/2009.
Maksud dan Tujuan Ujian Nasional
Sebagaimana tujuan Ujian Nasional Yang tercantum dalam buku petunjuk pelaksanaan Ujian Nasional departemen Pendidikan Nasional, maka maksud dan tujuannya, adalah :
1. Merintis tercapainya standar nasional bagi mutu pendidikan dasar dan menengah.
2. menyederhanakan prosedur penerimaan siswa baru pada sekolah yang lebih tinggi.
3. mempercepat peningkatan pemerataan mutu pendidikan Dasar dan Menengah.
4. tercapainya tujuan kurikuler.
5. mendorong agar proses belajar mengajar dilaksanakan berdasarkan kurikulum, buku dan alat peraga praktek yang telah ditentukan.
Berdasarkan tujuan tersebut di atas, maka penyusunan program kegiatan Ujian Nasional dimaksudkan agar dapat memberikan acuan dan arahan dalam melaskanakan kegiatan Ujian Nasional di sekolah dengan tujuan agar dapat berjalan dengan tertib serta sesuai dengan ketentuan yang berlaku, serta hasil yang dicapai tahun ini akan lebih baik dari tahun sebelumnya.
Di samping tujuan tersebut di atas, Ujian Nasional bertujuan pula:
1. Mengetahui sejauh mana hasil yang telah dicapai selama satu tahun pelajaran.
2. untuk menentukan standarisasi mutu pendidikan dalam melaksanakan proses belajar mengajar di masa yang akan datang.
3. dengan adanya standarisasi mutu pendidikan yang telah diketahui, melalui Ujian Nasional dapat dijadikan tolak ukur untuk meningkatkan mutu sekolah khususnya dam mutu pendidikan pada umumnya.
4. untuk menilai kegiatan belajar mengajar ( PBM ) mana yang perlu mendapat perhatian sehingga mutu pendidikan secara nasional dapat tercapai dengan baik dan sempurna.
Adapun sasaran ujian nasional berdasarkan tujuan Ujian Nasional tersebut di atas, maka sasaran yang hendak dicapai, antara lain :
Bidang Penyusunan Program Kerja :
1. Agar semua kegiatan Ujian Nasional dapat dilaksanakn dengan baik dan lancar.
2. Agar setiap guru / personal yang ada di sekolah dapat mengetahui dan melaksanakan tugas sesuai dengan fungsinya masing-masing.
3. Agar setiap guru / personal tidak saling mengandalkan dalam melaksanakan tugasnya.
Bidang Pelaksanaan
1. Ikut membantu tercapainya tujuan pembangunan nasional khususnya dalam bidang pendidikan.
2. Tercapainya tujuan Ujian Nasional sebagaimana tercantum dalam buku pedoman pelaksanaan Ujian Nasional .
3. Agar tercapai hasil optimal, baik dari segi pelaksanaan maupun hasil yang dicapai oleh para siswa.
4. Mendapatkan standardisasi mutu
5. Meningkatkan mutu sekolah, sekaligus pendidikan pada umumnya.
6. Mendapatkan bahan masukan demi kesempurnaan dan meningkatnya mutu pendidikan yang akan datang.


B. Landasan hukum orang yang menolak UN
Ujian nasional bukanlah hal yang baru. Sejak 1945-1971 kita sudah melakukan Ujian Negara. Ujian sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah baik penyiapan bahan, pelaksanaan, maupun penetapan kelulusan. Dampaknya, kelulusan rendah, banyak kritik masyarakat, tidak ada seleksi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, mutu lulusan tinggi. Sistem ini lantas diperbaiki dengan Ujian Sekolah 1971-1983; Ujian sepenuhnya dilakukan oleh sekolah baik penyiapan bahan, pelaksanaan, maupun penetapan kelulusan. Tidak ada batas lulus; dampaknya kelulusan hampir 100 persen, masih diperlukan seleksi lagi ke jenjang lebih tinggi, mutu rendah, banyak kritik masyarakat. Sistem ini akhirnya diperbaiki dengan Ebtanas (1983-2002).
Dalam sistem ini dikenal kombinasi PQR, di mana nilai akhir atau kelulusan adalah P (nilai semester satu) + Q ( nilai semester dua) + 3R (nilai ebtanas murni). Hasilnya banyak terjadi mark up nilai P dan Q oleh guru atas restu kepala sekolah dan kepala dinas pendidikan. Semua peserta lulus, anak rajin atau anak malas, anak pandai atau anak bodoh semuanya lulus.
Pada saat itu, benar-benar tidak ada penjaminan mutu, bahkan kewibawaan pendidikan di titik nadir demikian pula kewibawaan guru. Quality control dan quality assurance tidak ada. Efek negatif Ebtanas adalah tidak memotivasi siswa belajar lebih giat dan prestatif; tidak memotivasi guru untuk mengajar dan mendidik dengan lebih bersungguh-sungguh, tidak menumbuhkan budaya mutu dan tradisi berkompetisi untuk mencapai keunggulan bangsa, memberikan pendidikan yang semu.
Penolakan UN bukan semata-mata soal landasan yuridis yang salah satu pasalnya menyebut kewenangan meluluskan siswa ada pada guru. Alasan empiris yang kasat mata sejatinya adalah masih lemahnya kesiapan sekolah dan kesiapan guru untuk bekerja lebih bermutu. Artinya standar performance guru memang masih jauh dari mutu yang syaratkan untuk bisa meluluskan murid dengan standar kelulusan sesuai standar UN. Lihat saja kinerja mereka para guru yang sudah lulus sertifikasi juga masih jauh panggang dari api.
Rendahnya kinerja guru tidak lepas dari penyiapan guru saat masih di LPTK ada guru-guru yang direkrut dari LPTK beneran dan ada juga guru yang direkrut dari LPTK abal-abal yang proses perkualiahannya tanpa ada kontrol mutu. Rekrutmen guru kita juga kental nuansa politik ketimbang nuansa akademik. Lihat demo para guru bantu, guru honorer untuk menjadi CPNS adalah indikasi rekrutmen guru bukan berbasis pertimbangan akademis melainkan lebih dilandasi kebijakan politik.
Celakanya, mereka ini lebih asyik menuntut hak-haknya sebagai PNS ketimbang sadar diri atas kewajibannya sebagai guru profesional untuk terus bergulat meningkatkan kemampuan profesionalnya. Kecurangan dalam sertifikasi, manipulasi dalam pengumpulan angka kredit untuk kenaikan pangkat adalah jalan pintas yang dilakukan guru untuk mendapat hak kesejehteraannya. Akankah mereka bisa dituntut untuk mengajar lebih bermutu? Di tangan guru-guru yang rendah komitmen moralnya, rendah tanggung jawab profesionalnya maka UN menjadi momok yang harus ditolak.
Di samping rendah kinerja profesional guru, sisi lain yang menjadi penyebab rendahnya mutu pendidikan di sekolah adalah manajemen sekolah. Umumnya, manajemen sekolah masih belum melakukan model penjaminan mutu yang kokoh dan terukur; dalam kondisi guru yang tidak siap dan kinerjanya masih rendah ditambah dengan manajemen sekolah yang belum nenerapkan sistem penjaminan mutu berkelanjutan maka penolakan UN adalah jalan pintas yang bisa dirasionalisasikan dengan dalih apa pun apalagi sekarang ada putusan MA yang bisa melegitimasi penolakan itu. Menyerahkan kembali standar kelulusan kepada guru jelas bukan hal yang bijak jika kita melihat sejarah manipulasi nilai P dan Q oleh para guru di era Ebtanas.
Padahal dari sisi yuridis penyelenggaraan UN sebagai salah satu upaya peningkatan mutu pendidikan sudah cukup kuat. UU Sistem Pendidikan Nasional; Pasal 11: Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan bermutu bagi masyarakat tanpa diskriminasi; Pasal 35: Ada 8 Standar Nasional Pendidikan, dua di antaranya: Standar Kompetensi Lulusan; dan Standar Penilaian Pendidikan. Pasal 58 Ayat (1): Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan (Internal Evaluation); Pasal 58 Ayat (2): Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik, untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan (External Evaluation).
PP tentang Standar Nasional Pendidikan; Pasal 63; Ayat (1): Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: a. Penilaian oleh pendidik; b. Penilaian oleh satuan pendidikan; dan c. Penilaian oleh Pemerintah. Pasal 66 Ayat (1): Penilaian hasil belajar oleh Pemerintah bertujuan untuk menilai pencapaian standar kompetensi lulusaan secara nasional dilakukan dalam bentuk ujian nasional. Dari perspektif di atas UN masih layak dilanjutkan dengan berbagai perbaikan teknis, di sisi lain dibarengi dengan peningkatan mutu kinerja guru dan manajemen sekolah yang berbasis peningkatan mutu berkelanjutan.
Perbaikan mutu kinerja guru dan manajemen sekolah merukan dua ujung tombak peningkatan mutu pendidikan yang mendesak harus dilakukan. Berbagai kekurangan fasilitas dan sarana prasarana sejatinya bisa diatasi dengan manajemen sekolah yang baik ditambah dukungan dana investasi dan dana pengembangan pendidikan dari pemerintah pusat.


Penjaminan Mutu Pendidikan
Upaya pemerintah untuk terus meningkatkan mutu pendidikan semakin serius dan tidak bisa ditawar lagi dengan diterbitkannya Permendiknas No 63 Tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan. Permendiknas No 63 Tahun 2009 memberikan arahan yang jelas tentang penjaminan mutu pendidikan. Ada dua hal utama yang harus dilakukan untuk penjaminan mutu pendidikan yakni pertama, melakukan Evaluasi Diri Sekolah (EDS), kedua; melakukan Monitoring Sekolah Oleh Pemerintah Daerah (MSPD).
Evaluasi Diri Sekolah (EDS) untuk melakukan pemetaan mutu sekolah oleh pihak sekolah sendiri secara jujur dan transparan sehingga dapat ditemukan akar permasalahan yang dihadapi dalam penjaminan mutu pendidikan, selanjutnya bisa dirumuskan rekomendasi atau langkah nyata dalam penjaminan mutu pendidikan. Evaluasi Diri Sekolah merupakan langkah proaktif untuk mengeliminasi ketidakjujuran sekolah dalam menempuh evaluasi yang dilakukan oleh Badan Akreditasi Sekolah. Bukan rahasia lagi bahwa banyak sekolah melakukan manipulasi data dan fakta saat menghadapi tim asesor badan akreditasi sekolah. Melalui EDS hal tersebut tidak perlu dilakukan lagi.
Adapun Monitoring Sekolah oleh Pemerintah Daerah (MSPD) merupakan perwujudan dari pertanggungjawaban pemerintah daerah yang memiliki kewenangan dalam bidang pendidikan sesuai dengan UU Otonomi Daerah sehingga pemerintah daerah dituntut mampu melakukan monitoring yang terkait dengan penjaminan mutu sekolah. Patut dicatat saat ini masih banyak pemkab/pemkot yang tidak memiliki sistem baku tentang penjaminan mutu pendidikan yang menjadi kewenangannya.
Untuk bisa melakukan penjaminan mutu pendidikan yang berkelanjutan pemerintah telah menugaskan kepada Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) di 30 provinsi untuk mendampingi dan memfasilitasi sekolah dan pemerintah kebupaten/kota dalam melaksanakan penjaminan mutu di sekolah. LPMP dibekali dengan berbagai kemampuan teknis operasional dann kerangka konseptual dalam penjaminan mutu pendidikan.
Dimulai dari pemetaan kualitas pembelajaran di sekolah, kualitas kepemimpinan kepala sekolah dan pengawas sekolah sampai pada penningkatan kemampuan guru dalam menyusun karya ilmiah, penelitian tindakan kelas, penelitian tindakan sekolah. Semuanya sudah disiapkan di LPMP yang menjadi persoalan adalah apakah para bupati/wali kota, DPRD kepala dinas pendidikan kabupaten/kota memiliki good will dan political will untuk meningkatkan mutu pendidikan di daerahnya. (76)

Berbicara pelaksanaan UN di Indonesia masih terdapat kontroversi dikalangan ahli, sehingga terjadi tarik menarik antar yang pro dan kontra. Desakan terhadap pemerintah untuk mmbatalkan penyelenggaraan UN, banyak aksi yang dilakukan oleh organisasi kepelajaran, mengingat pemerintah mematuhi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diperkuat dengan Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Mahkamah Agung RI tentang ujian nasional (UN) kembali bergulir.
Di atas merupakan hukum yang telah ditetapkan atas gugatan para guru-guru. Perlu kiranya dipaparkan landasan hukum penolakan UN berdasarkan pada beberapa aspek, yaitu pertama, UN Boroskan Anggaran Negara, kedua Pada dasarnya UN memang diperlukan oleh sebuah negara karena merupakan tolok ukur bagi keluaran proses pendidikan nasional. Namun demikian, diperlukan prasyarat dasar sebelum UN dilaksanakan, yakni pemenuhan terhadap standar proses pendidikan, seperti sarana prasarana pendidikan yang memadai, distribusi dan kualitas guru, kurikulum, dan lainnya. Ketiga, Standar proses pendidikan itu terkait dengan pemenuhan hak-hak dasar warga untuk mendapatkan pelayanan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau. Selama ini penerapan UN dipukul rata tanpa mempertimbangkan kondisi dari infrastruktur dasar pendidikan.

C. solusi yang tepat untuk menenggarai pro dan kontra atas penyelenggaraan UN
Negaramanapun tentunya sangat membutuhkan informasi yang berkenaan dengan sejauh mana sistem yang telah didesain selama ini mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Dari informasi yang diperoleh tersebut kemudian dapat dijadikan sebagai acuan untuk memperbaiki kinerja sistem itu sendiri dimasa yang akan datang. Dalam dunia pendidikan, kerangka sederhana inilah yang kira-kira menjadi landasan bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia dalam menyelenggarakan evaluasi sistemik dalam pendidikannya. Sebut saja evaluasi sistemik tersebut saat ini yang lagi trend dan hangat diperdebatkan dinegara kita adalah penyelenggaraan Ujian Nasional. Ujian Nasional yang sejak awal kemunculannya mendapatkan berbagai reaksi yang beragam dari berbagai lapisan masyarakat Indonesia, “ada” kelompok yang pro dan tidak sedikit pula kelompok yang “kontra” terhadap kebijkan tersebut. Ujian Nasional ditentang oleh sebagian besar masyarakat disebabkan karena pertama digunakannya standar tunggal untuk dalam mengevaluasi siswa seluruh Indonesia. Masyarakat menilai, azas keadilan dan pemerataan yang menjadi semangat penyelenggaraan sistem pendidikan nasional kita tidak tercermin dalam penyelenggaraan UN, ketika acuan penilaian yang digunakan tidak memperhatikan dinamika dan perbedaan kemampuan ditingkat daerah. Keadaan ini juga “kontraproduktif” dengan semangat kurikulum yang mencoba membangun dan menyemaikan budaya kontruktifistik dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, peningkatan ambang batas kelulusan UN setiap tahun belum diimbangi dengan perbaikan infrastruktur pendidikan dan kualitas pembelajaran. Terjadi lompatan logika yang tidak dapat diterima oleh masyarakat, bagaimana ingin menyamakan evaluasi sementara terdapat disparitas yang menganga berkenaan dengan proses pembelajaran antara jawa dan luar jawa. Diakui atau tidak, jawa lebih unggul dalam hal kecepatan mengekses informasi dibandingkan daerah luar jawa, sebab berbagai fasilitas yang menunjang kearah tersebut telah memadai sedangkan daerah luar jawa masih “jauh panggang dari api”. Kondisi ini setidaknya akan mempengaruhi kelancaran proses pembelajaran pada tiap sekolah. Bahkan, semangat “program internet” masuk sekolah baru dicanangkan beberapa waktu yang lalu sebagai bagian dari program seratus hari Departemen Pendidikan Nasional. Sebagai perbandingan dengan program negeri jiran, Kementerian Malaysia telah cukup lama mengembangkan apa yang disebut sebagai sekolah pintar (smart school) sebagai bagian dari proyek raksana yang dikenal dengan Multimedia Super Corridor (MSC). Sejak tahun anggaran 1997, Malaysia telah mengembangkan 31 sekolah menengah sebagai sekolah pintar. Empat mata pelajaran pokok di Malaysia, yaitu (1) Bahasa Malaysia, (2) Bahasa Inggris, (3) Sains, dan (4) Matematik (kita menggunakan istilah Matematika) telah disusun dalam bentuk CD, sehingga proses pembelajarannya menggunakan komputer. Lagi-lagi, fasiltias ruang kelas di sekolah ini tidak lagi ada meja kursi yang diatur berderet-deret seperti kelas model lama, tetapi kelas model baru lengkap dengan komputer untuk setiap siswa. Kalau demikian, program penyediaan internet secara massal dalam hal ini memang terasa sudah terlambat dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Malaysia. Oleh karena demikian, sepatutnya pemerintah mempertimbangkan faktor ini dalam penyelenggaraan UN.
Katiga, penyusunan butir-butir soal Ujian Nasional dilakukan secara sentralistik. Kondisi ini sangat bertentangan dengan semangat “desentralisasi” dibidang pendidikan yang selama ini telah disemaikan. Implikasinya kemudian, banyak anak yang tidak mampu menjawab soal-soal Ujian Nasional. Hal ini dimungkinkan terjadi karena meski kurikulum sama, namun masing-masing guru sebagai kreator pembelajaran dalam menginterpretasikan kurikulum menjadi lebih operasional tentunya memiliki pemahaman yang berbeda sehingga materi pembelajaranpun bervariasi, “inilah” semangat Desentralisasi Pendidikan”. Disisi lain, fenomena yang tidak kalah risihnya dan memilukan nurani bangsa ini ketika “semangat lulus 100 %” menjadi semacam keharusan telah mengubah wajah pendidikan secara massif. Berbagai cara dihalalkan untuk mencapai target tersebut, tim sukses dibentuk pada tiap sekolah meski tidak formal yang bertugas untuk membagikan ransum (kunci jawaban) pada menit-menitterakhir.
Sementara itu, tidak dapat dipungkiri pula bahwa, disisi lain keberadaan Ujian Nasional juga menjadi semacam shock terapi bagi masyarakat bangsa ini yang terkenal malas dalam membaca. Para orang tua murid yang peduli terhadap peningkatan mutu dan kualitas anak-anaknya tentunya akan mendorong anak-anaknya untuk belajar sejak dini karena mengetahui betapa sulitnya Ujian Nasional yang akan dihadapi oleh sang anak. Inilah yang menjadi argumen, dari kelompok masyarakat yang “pro” terhadap penyelenggaraan UN. Disamping itu, dengan logika untuk mengangkat kualitas anak bangsa secara bersamaan juga menjadi faktor yang mendorong UN untuk terus dipertahankan sebagai indikator kelulusan siswa. Terlepas dari pro kontra di atas, berangkat dari azas keadilan dan pemerataan pendidikan “penulis” menyarankan untuk mereposisi Ujian Nasional. Artinya, Ujian Nasional tetap boleh diselenggarakan sebagai salah satu instrumen evaluasi secara nasional, namun peruntukannya tidak dijadikan sebagai indikator mutlak kelulusan, melainkan dijadikan sebagai salah satu indikator kelulusan dengan mengembalikan kepada daerah untuk menentukan standar kriteria kelulusannya. Dengan Ujian Nasional model baru ini, penyusunan soal tidak lagi dilakukan secara nasional tetapi dilakukan oleh masing-masing daerah. Untuk kepentingan memantau mutu pendidikan secara nasional, pemerintah pusat tetap memegang peran sebagai pemantau dan pengawas terhadap penyelengaraan UN. Dari hasil Ujian Nasioanal tersebut, kemudian pemerintah pusat dapat mengambil langkah-langkah perbaikan dan peningkatan aspek-aspek penting yang akan mendukung agenda peningkatan mutu pendidikan nasional secara keseluruhan.
Dengan model ini, Ujian Nasional juga dijadikan sebagai sarana untuk meningkatkan mutu sekolah secara bertahap. Karena itu, sekolah yang belum memenuhi standar pendidikan harus dibantu untuk meningkat. Model baru ini juga dapat mengikis kesan dan citra negatif yang melekat pada guru selama ini, dimana guru dicitrakan sebagai pihak yang tidak dapat dipercaya karena suka memanipulasi nilai siswanya, membocorkan soal dan semata-mata ingin meluluskan siswanya tanpa memperhatikan mutu luaran. Pada bagian lain, dengan model baru ini, gran desain untuk meningkatkan mutu pendidikan secara sistemik dilakukan secara batton up dengan berpegang pada prinsip desentralisasi yang saling menguntungkan. Jika memang butir-butir penting dalam amar putusan Mahkamah Agung seperti perbaikan sistem pendidikan, peningkatan dan pemerataan kualitas dan kuantitas sarana pendidikan serta peningkatan akses layanan informasi kepada masayarakat pendidikan, telah dilakukan perbaikan secara terencana dan berkesinambungan, maka Ujian Nasional dapat dijadikan sebagai indikator kelulusan dengan standar kriteria kelulusan mutlak seperti saat ini dapat diterapkan kembali. Saya kira, pilihan inilah yang paling logis untuk saat ini, sebab diakui atau tidak kita masih berbenah. Kita tentunya tidak ingin terbang jauh sebelum landasan pacu kita siapkan secara memadai. Mudah-mudahan tawaran di atas akan menjadi inspirasi bagi pengambil kebijakan dalam mere-evaluasi Ujian Nasional serta menjadi landasan konseptual bagi pelaku pendidikan di daerah dalam memberikan masukan dan kritikan terhadap pemerintah pusat berkenaan dengan penyelenggaraan Ujian Nasional.

Andy. Lahir di Makassar 22 Juli 1989, sekolah formal tamat pada tahun 2007 di SMA Neg. 4 Makassar dan pendidikan non-formalnya sekarang nyantri di Pesantren An-Nahdlah 2001- Sekarang. Melanjutkan pendidikan di fakultas Tarbiyah 2007- Sekarang.
2 Pada dasarnya Validitas dibagi atas dua macam yaitu vadilitas logis dan validitas empiris. Baca selengkapnya Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, (Cet. 9, Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hal. 65.
3 Ibid.
4 Lihat UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
5 Ibid.
7Taufikurrahman saleh, Membangun Pendidikan Indonesia; Reformasi Pendidikan Menuju Masyarakat Berbasis Ilmu Pengetahuan (Cet. I: Jakarta: LPP PP IPNU 2009). hal. 64-65.
8 Ibid.
9 Ibid.
10Ibid.
11Dapat diakses melalui jejaring situs http://ujiannasional.org/panduan-umum-ujian-nasional.htm. Di unduh pada tanggal 13 Maret 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar